Pertama, basis tatanan (basic of order) secara regulatif adalah aturan-aturan atau kebijakan yang bersifat mengikat semua orang. Dengan kata lain, tatanan sosial antikorupsi bisa diperkuat melalui penciptaan berbagai aturan dan kebijakan yang tidak mendukung berbagai prilaku korupsi di berbagai arena yang bisa melibatkan berbagai pihak. Tugas berat kita adalah memastikan supaya semua kebijakan publik dan aturan perundang-undangan tidak mendukung prilaku korupsi. Tentu ini bukan pekerjaan mudah.
Kedua, dasar kepatuhan (basic of compliance) secara regulatif adalah kelayakan, bahwa sesuatu itu layak atau tidak layak untuk dilakukan. Kalau ia layak, maka masyarakat, pemerintah dan semua pihak harus patuh, taat, tunduk pada berbagai aturan yang berlaku, dimana aturan tersebut mempunyai kelayakan untuk dipatuhi. Dalam konteks ini, supaya aturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah bersifat melekat (embedded) dalam kesadaran publik, maka aturan dan kebijakan itu haruslah layak secara akal sehat dan mendukung upaya antikorupsi. Aturan dan kebijakan yang cenderung korup tentu saja akan merusak tananan kehidupan bersama dan membuat kondisi bangsa ini semakin terpuruk.
Ketiga, mekanisme pelembagaan. Berbeda dengan dengan aspek normatif dan kognitif, mekanisme pelembagaan antikorupsi secara regulatif bersifat memaksa (coersive). Penegakan hukum antikorupsi bersifat memaksa. Jika penegakan hukum antikorupsi melemah, maka upaya pelembagaan antikorupsi dari sisi regulatif juga kurang bisa diharapkan. Pelemahan KPK melalui UU No. 19/2019 memperlihatkan bagaimana mekanisme koersif ini dilemahkan dalam penegakan hukum korupsi. Namun demikian, apapun kondisinya, sifat koersif dari sebuat aturan perundang-undangan tidak berkurang. Yang melemah adalah upaya pelembagaan secara regulatif dalam penguatan antikorupsi.
Keempat, secara regulatif, pengaruh pelembagaan antikorupsi kepada publik dan aktor-aktor korup adalah perasaan takut bersalah. Jika aspek regulatif ini tidak mampu menciptakan perasaan takut bersalah kepada publik dan koruptor, berarti efek jera dari penegakan hukum tidak bekerja. Mengapa efek jera ini tidak bekerja? Ini yang perlu diteliti lebih lanjut oleh para ahli.
Terakhir, basis legitimasi secara regulatif dalam penguatan antikorupsi adalah basis hukum/legal dan pemberian sanksi kepada pelaku korupsi. Dalam konteks ini, penekanannya ada pada legitimasi. Jika basis legal ini bekerja dengan baik, maka legitimasi dalam penegakan hukum korupsi juga akan meningkat dalam masyarakat. Sebaliknya, jika basis legal ini lemah, maka legitimasi dalam masyarakat juga akan menurun drastis.