Scroll untuk baca artikel
Opini

Pelemahan KPK dan Institusionalisasi Antikorupsi

Redaksi
×

Pelemahan KPK dan Institusionalisasi Antikorupsi

Sebarkan artikel ini
Oleh: Yusdi Usman

Saya mengapresiasi keberhasilan KPK dalam menangkap dua menteri kabinet Jokowi dari Gerindra (Edy Prabowo) dan PDIP (Juliari Batubara), dan OTT sejumlah kepala daerah tahun 2020 ini. Namun demikian, keberhasilan KPK ini bukanlah karena KPK hebat dan kuat, melainkan karena peran individu-individu di dalam lembaga antirasuah ini yang mempunyai komitmen kuat dalam anti korupsi.

Secara kelembagaan, KPK sudah dilemahkan melalui UU No. 19/2019. Meskipun demikian, menyerahkan upaya pemberantasan korupsi pada komitmen individual di dalam KPK bukanlah pilihan tepat. Individu-individu ini akan dengan mudah disingkirkan oleh aktor-aktor powerful dan korup di berbagai arena. Karena itu, institusionalisasi/pelembagaan antikorupsi oleh KPK dan masyarakat perlu diperkuat ke depan.

***

Korupsi masih menjadi kejahatan di sekitar kita. Bedanya, kejahatan yang satu ini cenderung tidak terlihat. Karena itu, ia tidak dirasakan secara langsung dampaknya oleh masyarakat. Bandingkan dengan kejahatan pencurian, perampokan dan pembegalan, dimana kejahatan ini langsung dirasakan dampak kerugian oleh korbannya. Bahkan, dalam sejumlah kasus pencurian, perampokan dan bahkan pembegalan, dampak kerugian bukan saja dalam bentuk harta benda, terkadang juga nyawa.

Korupsi memang tidak secara langsung merugikan korbannya. Jika demikian, siapa korban dari korupsi itu? Jawabannya adalah kita semua rakyat Indonesia. Korupsi dana publik di pemerintahan misalnya, tidak secara langsung merugikan kita. Namun demikian, kalau kita telusuri secara mendalam, dampak dari korupsi tidaklah sesederhana kejahatan pencurian atau perampokan atau pembegalan. Korupsi bisa berdampak sistemik pada kehidupan kita, bahkan bisa membunuh rakyat Indonesia. Kalau pencurian, perampokan, dan pembegalan hanya bisa membunuh dalam jumlah kecil, maka korupsi bisa membunuh dalam skala besar.

Karena itu, korupsi disebut juga dengan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Bagaimana korupsi bisa membunuh kita rakyat Indonesia? Yang jelas, korupsi akan berdampak sistemik pada layanan publik oleh pemerintah dan semua perangkat pemerintah.

Layanan publik yang buruk dalam sektor kesehatan misalnya, akan berdampak pada kualitas layanan kesehatan yang menurun yang beresiko kematian pada banyak orang. Layanan publik sektor transportasi dan infrastruktur pendukungnya yang buruk misalnya, akan beresiko pada meningkatnya korban kecelakaan, dan sebagainya. Layanan publik sektor pendidikan yang buruk akan berdampak pada berkurangnya kualitas pendidikan dan beresiko memburuknya kualitas sumberdaya manusia, ketidakmampuan bersaing dalam lapangan kerja, dsb. Demikian juga dalam berbagai sektor lainnya.

Karena itu, korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus menjadi musuh kita bersama. Masalahnya adalah, karena korupsi tidak secara langsung berdampak pada kehidupan kita, maka masyarakat cenderung abai, tidak peduli, dan merasa kondisi baik-baik saja. Bahkan, banyak koruptor di berbagai daerah disambut sebagai “orang baik”, hanya karena sang koruptor rajin bersedekah kepada fakir miskin atau murah tangan dalam membantu pembangunan masjid di daerahnya.

Yang lebih parah, banyak koruptor atau keluarganya bisa dengan mudah memenangkan kembali kontestasi politik dalam pilkada, dan kemudian berkuasa kembali sebagai kepala daerah atau anggota legislatif di daerah dan nasional.

Apatisme masyarakat terhadap prilaku korupsi ini membuat isu korupsi menjadi isu elitis. Akhirnya, yang peduli dengan isu korupsi hanya kalangan kelas menengah terdidik, atau mereka yang menjadi aktivis dan akademisi yang mempunyai minat dalam gerakan antikorupsi.