Oleh: Farouk Abdullah Alwyni*
Menjelang akhir tahun 2020 ini kita disajikan oleh pertunjukan politik unik Indonesia, ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi.
Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan Jokowi-Ma’ruf, masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi’Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019, walaupun pada awalnya mereka tidak menerima kemenangan sang calon tersebut.
Boleh dibilang proses politik yang terjadi tersebut adalah sebuah hal yang unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Bahkan hal yang terjadi itupun adalah sebuah sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia sejak dimulainya proses pemilihan presiden yang langsung dipilih oleh rakyat ditahun 2004.
Dalam satu sisi hal yang terjadi tersebut mungkin disebut ingin meminimalkan gesekan politik yang terjadi sewaktu proses pilpres berlangsung, di mana bahkan dua kubu pendukung calon pasangan presiden tersebut saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret.”
Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegasikan konsep demokrasi yang dikenal secara luas, di mana biasanya pihak yang kalah berada di luar dan menjadi oposisi, mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses check and balance bisa terjadi.
Karena dengan ketiadaan proses check and balance pada esensinya yang dirugikan adalah demokrasi itu sendiri, dan masyarakat secara keseluruhan.
Proses kontrol dalam penyelenggaraan negara disebuah negara demokrasi adalah hal yang harus dilakukan. Karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung mudah untuk disalah gunakan.
Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah good governance, bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah good corporate governance.
Dalam sejarah Islam setelah Rasulullah, Khalifah Pertama yang terpilih secara Syura, Abu Bakar Siddiq, menyatakan dalam khutbah pengangkatannya yang di antaranya adalah, “…, If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. … Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, you owe me no obedience. …”
Esensi dari khutbah ini adalah bahwa para pengikutnya mempunyai kewajiban untuk mengikutinya hanya jika beliau melakukan hal-hal yang benar, tetapi mereka tidak harus mengikutinya jika beliau melakukan kesalahan, bahkan perlu melakukan koreksi kepadanya.
Sebenarnya hal ini adalah refleksi juga dari sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa seorang Muslim harus selalu membantu saudaranya, baik saudaranya itu berbuat kebaikan dan kebenaran maupun kesalahan.
Pada waktu itu para sahabat bertanya bagaimana mungkin mereka harus membantu saudaranya jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah menjawab bahwa cara mereka membantu saudaranya tersebut adalah dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.
Hal di atas pada prinsipnya dalam bahasa sekarang adalah penerapan good governance dan check and balance.
Hal yang senada tetapi dalam ungkapan yang berbeda juga dinyatakan oleh para politisi dan negarawan Amerika Serikat yang di antaranya adalah Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat ke 26, 1901-1909).
“To announce that there must be no criticism of the President, or that we are to stand by the President, right or wrong, is not only unpatriotic and servile, but is morally treasonable to the American Public”, yang terjemahannya kurang lebih adalah “menyatakan bahwa di sana harus tidak ada kritik terhadap Presiden, atau kita harus selalu mendukung Presiden, benar atau salah, adalah bukan hanya tidak patriotis and berjiwa budak, tetapi secara moral berkhianat kepada masyarakat Amerika.”