Bahkan suara PKB secara nasional 60 persennya dipasok dari Jawa Timur yang menjadi basis nahdliyin. Selain berpolitik langsung melalui partai, para kiai juga dalam mengembangkan otoritasnya banyak yang lebih memilih mengadu tawar dengan penguasa atau elite tertentu.
Menurut Endang Turmudi, praksis mereka adalah menjadi pelegitimasi kekuasaan. Kiai dan penguasa berkolaborasi dan saling tawar hingga kedua pihak merasa saling diuntungkan.
Dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan sosial-politik masyarakat. Hal ini karena para kiai adalah pemegang legitimasi keagamaan.
Legitimasi kiai ini oleh pemeritah atau para elite politik dapat digunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan duniawi mereka (hal. 264).
Otoritas kiai tak selamanya langgeng. Tak sedikit kiai yang otoritasnya hancur akibat berselingkuh dengan penguasa atau memang mabuk kekuasaan.
Pada saat umat sudah tak percaya lagi dengan otoritas kiai, saat itu juga umat secara perlahan akan meninggalkannya. Kasus ini banyak terjadi pada zaman Orde Baru.
Ketika kiai berbondong-bondog masuk Golkar, umat tidak otomatis ikut. Mereka bahkan malah menjauhi sang kiai. Endang Turmudi yakin, perselingkuhan kiai dengan penguasa tak akan menghilangkan peran dan otoritas kiai secara keseluruhan.
Kiai sebagai penjaga moral dan nilai-nilai masih relevan dan berjangka panjang. Sebab, pada dasarnya kiai dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu kiai pesantren, kiai tarekat, dan kiai yang terlibat dalam politik.
Jenis kiai yang terakhir inilah sebenarnya yang rawan berselingkuh dengan penguasa dan mabuk kekuasaan. [rif]