BARISAN.CO – Andi Warnerin Syahputra, yang lahir pada 27 Juli 1965 silam itu kini berhasil menjadi salah satu advokat di tanah air. Selama menjadi pengacara, sebenarnya dirinya mencoba membatasi diri untuk tidak terlibat dalam perkara perceraian dan juga korupsi.
Namun, kenyataannya berkehendak lain. Justru, selama berkarir, pria asal Jakarta ini mengungkapkan selaku pengacara, kasus-kasus korupsi yang paling banyak ia tangani.
Pengalamannya selama 10 tahun di Governmnent Watch (sebuah NGO yang bergerak dibidang korupsi & good governance), menjadi awal mula ketertarikannya mendampingi tersangka korupsi yang didakwa melakukan tindakan korupsi atas perintah atasan atau dikriminalisasi.
Andi menyebut, mendampingi terdakwa kasus korupsi yang dikriminalisasi sangat menantang. Sebagai pengacara, ia bukan hanya dituntut untuk melakukan pendalaman atas suatu perkara. Namun juga harus punya nyali untuk membuka kotak pandora dalam kasus tersebut
“Terutama dalam soal menyikap pelaku-pelaku para atasan atau pejabat-pejabat negara yang jabatannya lebih tinggi daripada terdakwanya,” ungkap anggota Kongres Advokat Indonesia ini kepada tim Barisanco, Selasa (7/12/2021).
Kasus BLBI
Kiprah lulusan Magister Hukum Universitas Indonesia ini pun tak main-main. Ia sempat mendampingi Syarifuddin Tumenggung untuk kasus BLBI. Bagi Andi, kasus itu cukup rumit, namun juga menarik.
“Selain pokok perkara, lebih pada kebijakan ekonomi nasional. Ternyata pelaku tidak berdiri sendiri melainkan melibatkan peran Presiden di belakangnya,” kata Andi.
Menurut Andi, menariknya terdakwa itu tidak menyalahi ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Akan tetapi, karena perintah turun dari pihak kekuasaan lebih besar darinya sehingga terdakwa menjadi tidak berdaya.
Sehingga, Andi menyampaikan kasus korupsi yang didakwakan kepada Syarifuddin Tumenggung itu menjadi salah satu kasus yang paling berkesan selama bergelut dalam dunia advokasi.
Titik Awal Menjadi Pengacara
Andi awalnya tidak pernah berpikir untuk menjadi pengacara. Sejak duduk di bangku SMA, ia lebih memilih bergelut kepada masalah-masalah sosial di masyarakat daripada mengejar pendidikan formal.
Saat itu, Andi tiga kali masuk penjara. Dua kali karena berkelahi dengan siswa SMA lainnya dan satu kali karena demonstrasi penggunaan hijab di sekolah.
Pasca lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di Akademi Pimpinan Perusaahan. Sepanjang menjadi mahasiswa, Andi menjadi aktivis tulen terutama di Lembaga Pers Kampus, Gerakan Pro-demokrasi, HMI & lembaga Dakwah Kampus.
Setelah itu, Andi melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi UI, tapi sayangnya, tidak sampai lulus karena ia dipenjara tersangkut kasus politik.
“Selepas keluar dari penjara, saya menjadi wiraswasta dan juga melanjutkan kuliah kembali di STIE ternama di Jakarta,” tutur Andi.
Akan tetapi, keaktifannya sebagai aktivis membuatnya merenung. Ia berpikir bahwa ilmu hukum lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada ilmu ekonomi.
“Dengan latar belakang pengalaman melakukan advokasi kepada masyarakat terutama dalam kasus-kasus agraria, politik dan kemanusiaan, saya mulai tertarik untuk mendalami ilmu hukum. Dari situlah, saya kemudian kuliah di Fakultas Hukum,” tambahnya.
Tantangan Pengacara
Menjadi pengacara bukan pekerjaan yang mudah. Terlebih, banyak pandangan negatif dari masyarakat terhadap profesi ini.
Andi menuturkan pandangan itu dimulai dari adanya pemahaman yang salah dari masyarakat dan juga karena kerap kali dalam kasus tertentu seorang pengacara bertindak di luar etika profesi.
“Sehingga tindakan seseorang tersebut yang keluar dari koridor etika profesi kemudian oleh sebagian lainnya dianggap sebagai tuntutan profesi,” lanjut Andi.