Scroll untuk baca artikel
Terkini

Penguntit Itu Jahat, Sayangnya Belum Ada Payung Hukumnya di Indonesia

Redaksi
×

Penguntit Itu Jahat, Sayangnya Belum Ada Payung Hukumnya di Indonesia

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Banyak orang yang menganggap penguntit bukan sebagai kejahatan serius. Padahal, tindakan menguntit dapat menghancurkan kepribadian dan kehidupan korbannya.

Secara harfiah, penguntitan merupakan tindakan mendekati, mengikuti, atau menghalangi korban di luar kehendaknya; menunggu atau mengamati korban di dalam dan di sekitar tempat tinggal, tempat kerja atau sekolahnya; dan menimbulkan kecemasan atau ketakutan melalui surat, telepon, maupun jaringan IT.

Penelitian University of Gloucestershire menemukan penguntitan masuk ke dalam 94 persen dari kasus kriminal pembunuhan. Ada 63 persen pengawasan terselubung. Maka, tak heran jika perilaku menguntit diindetifikasikan ke dalam 9 dari 10 pembunuhan yang dipelajari oleh kriminolog dari bagian penelitian yang menghubungkan dua kejahatan.

Menurut mahasiswi Universitas Paramadina, Nabila Tauhida, penguntitan bisa berbahaya karena tidak tahu motif pelakunya. Sayangnya, sering kali didapati jika korban dianggap terlalu percaya diri.

“Menurutku, kita harus percaya insting. Jika merasa ada yang mengikuti atau merhatiin harus cari teman-teman yang aware agar enggak dikira ke-GR-an. Karena kita enggak tahu kan kalau ternyata bener di stalking sama orang. Bahaya banget dan kita enggak tahu motifnya malah bisa jadi korban pembunuhan,” kata perempuan yang juga aktivis tersebut.

Nabila menambahkan memang sulit untuk menemukan bukti terkait penguntitan. Akan tetapi baginya, perlu adanya payung hukum untuk melindungi korban.

Sementara itu, Pakar Hukum, Andi W. Syahputra menyampaikan pengintaian terhadap seseorang belum mempunyai delik pidana karena dianggap belum adanya perbuatan pidana seseorang terhadap orang lain.

Andi menuturkan jika sulit bagi masyarakat membuat laporan pidana apabila seseorang tersebut hanya sebatas kecurigaan akan melakukan perbuatan pidana karena dalam hukum pidana tidak dikenal dugaan dan ataupun kecurigaan.

“Sebelum adanya bukti material berupa perbuatan pidana seseorang maka penguntitan belum bisa dikenakan delik pidananya,” tutur Andi kepada Barisanco.

Saat ditanya soal korban penguntitan yang bisa saja terancam, Andi mengatakan korban belum tentu dapat membuktikan secara kerugian materiil akibat perbuatan seseorang yang menguntitnya.

“Korban hanya bisa merasakan terjadinya gangguan psikologis yang dialaminya berupa trauma atau ketakutan karena merasa dikuntit. Sedangkan hukum pidana tidak mengatur atau menghukum seseorang atas adanya laporan korban yang mengalami guncangan kejiwaan. Karena boleh jadi guncangan kejiwaan tersebut dialami dari akibat diluar penguntitan dan bukan penguntitan itu sendiri,” tambah Andi.

Andi menyarankan apabila seseorang merasa terancam nyawanya akibat merasa dikuntit oleh orang lain, maka orang tersebut bisa melapor kepada pihak kepolisian untuk meminta perlindungan hukum.

“Perlindungan hukum, misalnya meminta kepada polisi untuk melakukan pengintaian juga terhadap aktivitas kita selama di luar rumah sehingga untuk memberikan rasa aman. Namun, pemberian perlindungan hukum oleh pihak kepolisian juga ada batasnya mengingatkan bisa saja selepas pelaporan tersebut si penguntit menghentikan perbuatan untuk sementara waktu,” lanjut Andi.

Indonesia baru memiliki payung hukum penguntitan di dunia maya yaitu pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur adanya perbuatang yang dapat digolongkan sebagai cyberstalking.

Isi pasal itu adalah setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Akan tetapi, pasal tersebut berlaku jika adanya ancama kekerasan. [rif]