Oleh: Ananta Damarjati
Barisan.co – Bukan hanya Covid-19, banyak hal mengerikan dalam hidup. Termasuk terjebak duduk di tengah orang-orang tua yang sedang membahas penyakit, di hari Sabtu. Belum lama saya mengalaminya.
Betapa tidak ngeri, di tengah obrolan, tiba-tiba salah satu orang tua berpaling kepada saya dan menasihati, “Anak muda, kalau bisa jangan minum manis. Siapa yang tahu di umur lima puluh nanti kepalamu kejedot masjid dan lukanya susah sembuh karena kadar gula darahmu tinggi.”
Orang tua penasihat itu, saya kira tidak sedang bercanda, tapi juga tidak menakut-nakuti. Percakapan hari itu mengalir dan santai. Kebanyakan dimulai cerita masa lalu, bahwa penyakit tua mereka merupakan akumulasi kebiasaan masa muda, ketika dulu mereka seumuran saya.
Percakapan jadi lebih panjang dan ilmiah saat seorang tua yang lain mulai menyoal determinisme-genetis dalam penyakit. Lalu, ada orang tua yang lain lagi, coba mengaitkan diskusi penyakit dengan pandemi. Akan tetapi orang tua terakhir itu agak muluk-muluk. Perbincangan berakhir tak lama kemudian.
Namun jelas, pada saya, ketakutan demi ketakutan akan penyakit itu mulai ada, dan mulai terbangun secara laten. Teori akumulasi kebiasaan yang saya dengar pada hari Sabtu itu, saya rasa benar dan makin sulit dibantah pada hari Minggu.
Dan tiba-tiba saja sekarang adalah hari Senin. Ibu saya, pagi-pagi sekali, mengirim foto seseorang laki-laki tua disertai pesan singkat, via WA: “Masih kenal orang ini, Nang?”
Saya jawab tidak kenal. Ibu lalu mengatakan bahwa dia adalah Om Totok, salah satu sanak-famili kami.
“Om Totok yang tentara itu?” Saya coba meyakinkan diri.
“Iya. Sudah setahun lepas dinas. Sekarang kasihan, sakit gula disusul pikun dan lumpuh dan penyakit kecil-kecil. Selagi masih muda, pola makanmu dijaga ya, Nang! Oh ya, jangan lupa doakan Om Totok semoga diberi kesehatan.” Pesan Ibu memberondong.
Saya mengenali Om Totok paling pertama sebagai orang yang keplek ilat (jw, suka makan enak). Badannya tinggi gagah. Tampilannya parlente. Suaranya menggelegar. Namun, foto kiriman Ibu itu membawa informasi fisik yang berbeda. Kegagahan Om Totok tak berbekas. Tubuhnya kurus hingga tulang belikatnya menyembul. Rambutnya putih. Wajahnya dua kali lebih tua daripada umurnya.
Terakhir kali saya ke rumah Om Totok dua tahun lalu. Saya ingat dijamu menu ayam asam manis yang luhur sekali rasanya. Setahu saya, memasak menu itu tak rumit: mula-mula ayam dilumuri jeruk nipis dan tumisan bumbu. Lalu digoreng di atas api kecil sampai harum. Tambah sedikit ketumbar. Kemudian bawang bombay, larutan asam jawa, dan tepung maizena dimasukkan ke penggorengan dengan sedikit air. Setelah empuk, ayam disiapkan di atas piring lalu disiram saus tomat, dan terakhir diberi potongan nanas.
Konon, menurut cerita yang berkembang di keluarga besar kami, Om Totok sudah sejak muda tidak menjaga pola dan jenis makanan. Bisik-bisik internal menyimpulkan keadaannya sekarang ‘murni’ konsekuensi logis gaya hidupnya dulu. Lagi-lagi, sebagai anak muda umur dua-puluhan yang sudah terpapar paham akumulasi-kebiasaan-masa-muda di kepalanya, saya membenarkan.
Maka, sementara sebagian besar kawan seumuran saya punya kredo “makan junkfood selagi mampu”, saya memilih waspada terhadap makanan cepat saji itu. Tentu saja, langkah saya menghindari junkfood itu tidaklah istimewa. Karena menilik lanskap makro, saya tidak sendiri: ada banyak pemuda seumuran saya yang punya anxiety sejenis.
Tiba-tiba ini hari Selasa dan saya duduk sendirian di kantor. Saya nyalakan televisi agar tidak terasa sepi. Saya cari program televisi yang sekiranya bisa didengar sambil lalu. Beragam sekali acara televisi yang ditonton tetaplah harus satu. Dan, setelah ganti-ganti kanal dari gosip, berita pandemi, sinetron, sampai home shopping, pilihan saya jatuh ke yang disebut belakangan.
Oh, pilihan saya salah!
Bukannya bisa dinikmati sambil lalu, program yang saya pilih malah menyita perhatian. Tampak seorang presenter, seorang dokter, dan seorang agen pemasaran di acara itu serius membicarakan sebuah kalung kesehatan yang, kata mereka, bisa mengurangi risiko penyakit kanker. Harga kalung itu tidak masuk akal, maka sepertinya tak perlu disebutkan di sini.
Tajuk acara itu “bincang-bincang kesehatan”. Meski menurut saya tajuk yang tepat harusnya “semua adalah kanker”, mengingat segala perbincangan mereka yang panjang lebar itu selalu berakhir di kanker: benjol-benjol awas kanker; batuk dan sesak berkepanjangan hati-hati kanker; rasa sakit tanpa sebab, kanker; perut kembung, kanker; obesitas, kanker; bau mulut, kanker; kentut, kanker. Dan pada gilirannya, menurut kebijakan sang presenter, cara menyikapi gejala kanker yang benar ialah dengan memakai kalung kesehatan. Ajaib.
Sang presenter dan agen pemasaran terlihat begitu yakin. Saya tahu, adalah pekerjaan mereka untuk meyakinkan orang. Tak lama kemudian sesi telepon interaktif dibuka oleh presenter. Kriiing … Rupanya ada yang menghabiskan pulsanya untuk menelpon acara seperti itu! Ajaib (2).
Rupanya sang penelpon membeli kalung kesehatan itu! Ajaib (3).
Benar-benar ajaib. Saya ternganga di depan televisi mengetahui percakapan soal kesehatan sudah sampai pada titik ini. Andai kentut merupakan sanjungan, bukan gejala kanker, saya menyanjung program televisi itu sebau-baunya.
Diskusi tentang post ini