Kesalahpahaman dalam Memahami Alam
Kita seringkali hanya memperlakukan alam termasuk di dalamnya adalah air secara teknis semata. Bagaimana ia hadir di hadapan kita pun kita anggap hanya sebagai persoalan teknis ekonomis belaka. Jika tidak ada ya kita cari. Mengapa mesti rumit? Begitulah isi kepala semua orang di sekitar kita.
Ancaman krisis air yang dalam skala luas adalah krisis lingkungan hidup bermula dari kesalahpahaman dalam memahami arti kalimat manusia adalah khalifah di muka bumi. Kesalahpahaman itu dimulai dari paradigma anthropocentris yang dianut oleh umat islam terutama semenjak bersinggungan dengan dunia industrialisasi modern.
Khalifah yang dimaknai sebagai wakil Tuhan seolah menjadikan kedudukan manusia terhadap alam seperti kedudukan tuan dan budaknya. Pandangan inilah yang kemudian selanjutnya mendesakralisasi alam. Alam tak lagi dianggap sebagai citra Ilahi sebagaimana manusia.
Dalam konteks inilah menarik mengkaji pandangan teologi lingkungan. Dengan harapan, krisis lingkungan dan kenaifan manusia kekinian bisa berkurang. Dunia saat ini dihadapkan pada krisis lingkungan yang membutuhkan kerjasama untuk merawat dunia sebagai rumah bersama. Semua agama setuju bila dikatakan bahwa peradaban Barat, peradaban dunia, termasuk Indonesia sedang mengalami krisis.
Alam dalam pandangan ekotheologi telah didesakralisasi oleh manusia modern. Alam hanya dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan dan dinikmati semaksimal mungkin untuk kepuasan manusia.
Alam tidak lagi dipandang seperti seorang wanita yang dinikahi, dimana laki-laki mendapat kebaikan dan sekaligus memikul tanggung jawab. Alam di tangan manusia modern, telah menjadi seperti seorang “pelacur,” dimanfaatkan namun tanpa ada arti kewajiban dan tanggung jawab terhadapnya.
Sekulerisme modern telah menyingkirkan Tuhan dan sebagai gantinya,merebaklah paham rasionalisme, humanisme, dan saintisme yang mengisi ruang hampa yang telah ditinggalkan Tuhan. Kesemuanya ini tumbuh subur di atas pengandaian bahwa manusia menempati posisi supremasi di atas alam.
Krisis ini pada kenyataannya bukanlah krisis ekologis belaka, melainkan juga krisis nilai dan pemaknaan dari manusia itu sendiri terutama mengenai hidup secara menyeluruh. Dengan demikian, krisis tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kosmos. Karena prinsip kosmos adalah keseimbangan dan ke saling melengkapi, maka krisis ekologis saat ini lebih tepat disebut sebagai krisis keseimbangan dan teralienasinya manusia dari entitas lain di alam semesta. Krisis sekarang tentang nilai hidup memang sudah sangat terasa mendalam.