Dalam praktiknya, Prof Syukri Salleh memaparkan bahwa ada dua pendekatan dalam mengaplikasikan IBD. Pertama adalah dengan pendekatan top down seperti beberapa kali dilakukan di Malaysia, yang di antaranya diterapkan oleh Mahathir Muhammad dengan konsep Inculcation of Good Values, Abdullah Ahmad Badawi dengan Islam Hadhari, Mohd Najib dengan Malaysia Sharia Index, Mahathir Muhammad (bersama Pakatan Harapan) dengan konsep Rahmatan lil-‘Alamiin, dan terakhir Sri Muhyiddin Yasin dengan pendekatan Manhaj Rabbani.
Sedangkan pendekatan bottom up di antaranya adalah Darul Arqam dan Global Ikhwan di Malaysia, Daarut Tauhiid di Indonesia, dan Ban Nua Community di Thailand.
Problem utama penerapan IBD, menurut Prof Syukri Salleh, adalah sustainability. “Inisiatif top down tidak berlanjut ketika kekuasaan para pendukungnya tidak berlanjut lagi, sedangkan inisatif bottom up berhenti ketika ada persoalan dengan otoritas,” ucapnya.
Pada akhir pemaparan Prof Syukri Salleh menyampaikan bagaimana menjadikan pembangunan berbasis Islam berhasil.
Beberapa untuk disebutkan adalah, pertama, pembangunan harus didasari Iman dan Taqwa, di mana konsep hablum-minallah wa hablum-minannas digunakan untuk mewujudkan negara yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur (QS, 34:15).
Kedua, kemauan politik (political will), seperti yang dilakukan di Brunei maupun Malaysia. Walaupun dalam konteks ini, Brunei sebagai negara monarki lebih memberikan kestabilan dalam implementasi—dibandingkan Malaysia dengan perubahan politiknya.
Penguatan Sektor Manufaktur
Sementara itu, Prof. Dr. Murat Yulek mengangkat How Nations Succeed. Mantan ekonom IMF ini mendekati isu keberhasilan pembangunan dengan menekankan pentingnya pengembangan sektor manufaktur.
“Negara berkembang perlu melakukan industrialisasi dan mengembangkan sektor manufaktur agar menjadi negara berpendapatan tinggi. Industrialisasi tidak terjadi secara kebetulan, tetapi peran kebijakan adalah penting secara historis untuk merealisasikan keberhasilan,” ujarnya.
Prof Murat Yulek berpendapat manufaktur penting karena mendorong inovasi dan produktivitas. Produktivitas manufaktur di Amerika Serikat tahun 2007-2015, misalnya, bahkan sempat mengalahkan sektor jasa, walaupun sektor jasa menjadi tempat yang paling banyak menampung pekerja.
Disampaikan pula bahwa industrialisasi adalah bukan sekadar mempunyai banyak pabrik, tetapi lebih sebagai sebuah proses capacity building.
“Tetapi perlu pula diketahui bahwa tidak semua manufaktur baik. Perlu dipilih sektor manufaktur yang benar-benar berdampak terhadap pengembangan industri lainnya. Di sini peran kebijakan industri penting mendorong proses industrialisasi. Secara umum, pengembangan manufaktur akan membutuhkan kapasitas negara dan korporasi yang saling mengisi dan bersinergi,” katanya.
Menurut Prof Murat Yulek, negara-negara berkembang perlu memperhatikan hal-hal yaitu: (i) potensi nilai tambah yang dapat berkontribusi langsung terhadap peningkatan perdapatan per kapita; (ii) mempunyai backward linkages, berdampak menciptakan industri-industri di belakangnya; (iii) sejauh mana potensi ke dalam “learning by doing”; dan (iv) kedalaman teknologi.
Prof Murat Yulek juga menanggapi pendapat yang menyebut bahwa manufaktur adalah poor men’s business dalam konteks ekonomi terkini, di mana jasa semakin mempunyai peranan penting.
“Data menunjukkan negara-negara berpendapatan tinggi sekarang ini seperti Swiss, Irlandia, Singapura, Jerman, Swedia, Korea, Jepang, dan Denmark adalah juga mempunyai nilai tambah manufaktur per kapita yang tinggi,” ungkapnya. []