Orang-orang yang memiliki uang dapat memiliki rasa hormat, kekuatan, dan dapat mendominasi politik serta seluruh dunia. Dalam mendominasi politik, terkenal istilah plutokrasi. Dalam bahasa Yunani terdiri dari kata pluotos yaitu kaya dan kratos artinya kekuasaan atau penguasa.
Mengutip Investopedia, plutokrasi merupakan pemerintahan yang dikendalikan secara ekslusif oleh orang kaya baik secara langsung atau tidak langsung. Sistem ini juga mengizinkan hanya orang kaya yang memerintah. Sehingga tercipta kebijakan yang membantu orang-orang kaya tersebut.
Sistem ini telah hadir sejak zaman kuno. Pada masa kekaisaran Romawi senat yang terdiri dari aristokrasi kaya memiliki kekuatan untuk memilih pejabat administrasi lokal dan mengusulkan kebijakan baru.
Plutokrasi tak memiliki format yang jelas. Namun, orang-orang dapat melihat dan merasakannya dengan adanya akses ke program atau sumber daya tertentu, khusus orang kaya yang membuat mereka lebih berkuasa.
Secara tidak langsung, plutokrasi berfokus hanya pada orang kaya yang menciptakan lebih banyak ketidaksetaraan berbasis aset dan pendapatan.
Sebagian besar negara modern merupakan negara dengan sistem demokrasi. Dalam praktiknya memerlukan donor dari orang kaya agar dapat berkampanye secara efektif demi jabatan atau memengaruhi kebijakan.
Kebijakan publik yang berpihak pada orang kaya sering kali secara tidak langsung merugikan kepentingan kelas menengah dan kecil sehingga orang kaya cenderung menikmati posisinya menjadi lebih aman.
Sedangkan oligarki merupakan struktur kekuasaan politik yang terkonsentrasi pada kelompok kecil. Berbeda dengan plutokrasi, dalam kelompok ini tidak semuanya harus kaya. Namun, ketika oligarki terpusat di antara sekelompok individu kaya, ini juga dapat berarti plutokrasi.
Pada awal 1990-an, sekelompok kecil plutokrat begitu berpengaruh di Amerika. Mereka berbasis di New York City. Kemudian, Komite Pujo mulai menyelidikinya. J.P Morgan, William dan John D. Rockefeller, dan lainnya memiliki control atas sistem keuangan AS.
Baru-baru ini juga, Amerika menjadi contoh negara dengan unsur plutokrasi. Hal itu terjadi karena pengaruh kuat yang tidak proporsional yang dimiliki oleh orang kaya dalam proses pemilihan serta pembuatan kebijakan negara.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pandemi telah memukul banyak sektor perekonomian. Akan tetapi, beberapa kebijakan nampaknya lebih menguntungkan bagi orang kaya. Salah satunya ialah tes PCR.
Setelah terungkapnya nama-nama pebisnis di balik tes PCR, pemerintah sempat tidak mewajibkan tes PCR sebagai syarat perjalanan. Namun, tak lama berselang, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan kembali membuka opsi mewajibkan tes PCR bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan di akhir tahun ini.
Nama Luhut sendiri disebut-sebut ikut dalam bisnis PCR di PT GSI. Walaupun, pihaknya menyangkal tidak mencari keuntungan. Namun, masyarakat sulit untuk mempercayainya. Sebab, untuk membayar karyawan, gedung, dan kebutuhan lain perusahaan, memerlukan biaya yang umumnya berasal dari keuntungan. Selain itu, harta kekayaan Luhut selama pandemi ini mengalami kenaikan sebesar Rp 67 M. Hingga total kekayaannya mencapai Rp 745 miliar.
Di awal pandemi, biaya tes PCR bisa mencapai 3 juta rupiah. Kemudian, saat ini, turun hingga Rp 275.000.
Menurut anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade, biaya tes PCR bisa di bawah Rp 200 ribu. Ia menyebut biaya komponen tes PCR hanya membutuhkan Rp 100 ribu.
Akan tetapi, dalam wawancara Luhut dengan CNN TV pada Jumat (12/11/2021) membandingkan biaya tes di tanah air lebih murah daripada Amerika Serikat dan Singapura.