Scroll untuk baca artikel
Kolom

PNS Dapat THR dan Gaji ke-13, Rakyat Miskin?

Redaksi
×

PNS Dapat THR dan Gaji ke-13, Rakyat Miskin?

Sebarkan artikel ini

TIDAK ada yang salah ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta personel TNI dan Polri mendapat tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13. Itu hak mereka dan itu rutinitas setiap tahun.

Tetapi rasanya kurang tepat bila pemberian rutin tersebut sampai dipublikasikan besar-besaran. Dan, Presiden Jokowi secara khusus mengumumkannya. Padahal untuk soal THR cukup menteri terkait. Atau cukup pakai surat dan pesan singkat.

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan THR dan gaji ke-13, di luar Istana ada yang terluka dan cemburu. Mereka ini adalah buruh yang di-PHK sekira 50 juta orang dari laporan KSPI serta rakyat miskin yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2021 sebanyak 26,50 juta orang.

Artinya, pengumuman Presiden Jokowi yang disampaikan lewat kanal resmi Istana tersebut nirempati. Sementara rakyat kebanyakan kehidupannya justru semakin terpuruk kendati ada belas kasih berupa bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng yang cuma Rp300 ribu.

Seperti halnya jenis bantuan lainnya, di lapangan justru sering tidak tepat sasaran dan tidak menyentuh hajat keseluruhan masyarakat.

Andaikan saja ketika Presiden Jokowi mengumumkan THR dan gaji ke-13 ASN disertai pengumuman penurunan harga minyak goreng, penurunan semua jenis BBM serta penurunan harga gas dan tidak ada kenaikan tarif listrik, semua rakyat dipastikan happy, senang, gembira dan bungah.

Jauhkan dari pikiran bahwa subsidi atau keringanan jenis apapun bagi rakyat dianggap sebagai beban negara. Beban negara itu adalah utang. Sementara subsidi anggap investasi jangka panjang.

Misalkan saja pemerintah menyubsidi gas, listrik atau transportasi. Begitu banyak dana yang dihemat oleh rakyat miskin. Lantaran itu, masyarakat miskin dapat membeli susu, telur dan makanan bergizi lainnya.

Harapannya, angka stunting yang menurut data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021 prevalensinya di angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita, bisa terus ditekan.

Stunting bila tidak ditangani secara serius, ketika mereka memasuki usia produktif justru akan menjadi beban negara. Karena mereka tidak produktif dan berbalik menjadi bencana. Padahal Indonesia pada 2030 diperkirakan akan menikmati dampak dari bonus demografi.

Dan, puncaknya pada 2045 atau seabad merdeka, Indonesia menjadi negara maju.

Harapan dan target itu rasanya sulit terwujud, bila pemerintah masih menganggap subsidi sebagai beban dan rakyat miskin cukup dikasih BLT sekadar belas kasih atau lebih parah lagi cuma bagian pencitraan.

Rakyat miskin dan korban PHK pun tak mungkin minta THR apalagi gaji ke-13. Mereka hanya menuntut para penguasa untuk berempati yang diwujudkan lewat kebijakan yang memihak rakyat miskin.

Itu saja!