BARISAN.CO – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo pada 22 Februari 2021 lalu telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Pada poin C Edaran tersebut tertera mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, dan memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Peringatan secara virtual ini akan disampaikan melalui direct message (DM) dan meminta warga atau pemilik akun untuk melakukan koreksi pada saat itu juga. Setiap akun diberikan dua kali kesempatan dengan tempo maksimal 1×24 jam untuk mengoreksi apa yang disampaikan sebelumnya.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyebut bahwa adanya virtual police ini, dapat menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat yang kini menggandrungi media sosial sebagai wadah untuk mengekspresikan aspirasinya.
“Kehadiran polisi siber dan polisi virtual justru meciptakan persepsi ancaman yang besar untuk aktif di media sosial, keberadaannya juga masih minim interaktif (deliberasi) pada ruang publik digital,” kata Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, dalam diskusi bertema ‘Aktivisme Digital, Polisi Siber, dan Kemunduran Demokrasi,’ yang diikuti tim barisan.co pada Kamis, (4/3/2021).
Wijayanto mengungkapkan temuannya, akun polisi siber di media sosial sudah ada sejak 2016 dengan nama akun @CCICPolri. Konten di akun media sosial tersebut juga memiliki narasi mengajak warganet menjaga stabilitas dan kesejukan.
Namun, ia juga menemukan adanya cuitan polisi siber yang menciptakan persepsi ancaman. Misalnya, dalam cuitan pada 18 Desember 2020, akun @CCICPOlri menuliskan: Cepat atau lambat, jejak pidanamu di dunia siber, akan menerima hukuman yang setimpal #IndonesiaNegaraHukum.
Cuitan lainnya dikatakan Wijayanto dengan berbunyi ‘Yakin dan percayalah, jejak digital pidanamu, cepat atau lambat, dapat mengantar dirimu dan keluargamu pada penyesalan. Bersama kita ciptakan kedamaian di tahun 2021’.
Cuitan ini pun mendapat tanggapan warganet dengan menanyakan apa batasan dari masing-masing kriteria yang diposting polisi siber. Sayangnya, pihak Polri tidak merespons pertanyaan-pertanyaan dari warganet yang banyak bermunculan.
“Kita bayangkan membaca seperti ini kira-kira orang menjadi ter-encourage berpendapat atau jadi takut?” ungkap Wijayanto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai, hal ini mengingatkan dirinya akan konsep panopticon yang bertujuan untuk mendisiplinkan warga. Jadi, kalau warga keliru, akan cepat-cepat dilakukan upaya kolektif.
“Itulah yang saya pakai untuk menganalisis keberadaan polisi virtual yang bagi saya tidak banyak memberi manfaat buat demokrasi tapi sifatnya justru menimbulkan ketakutan baru buat warga,” jelas Damar di kesempatan yang sama.
Upaya ini menurut Damar mengindikasikan Indonesia tengah menghadapi otoritarianisme digital, di mana terdapat tiga indikator pokok, yakni sensor daring, pengawasan siber dan upaya kontrol terhadap infrastruktur.
“Dan kalau terus membiarkan ini akan menjadi hambatan besar pada aktivisme digital. Ini adalah bentuk penindasan teknologikal, bisa menghambat kita,” kata Damar.
Meski demikian, Damar mengingatkan, kehadiran polisi virtual ini tidak seharusnya membuat masyarakat menjadi takut. Ada beberapa antisipasi yang dapat dilakukan terkait isu ini. Salah satunya adalah melalui jalur hukum.