Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Puasa Hari Ini

Redaksi
×

Puasa Hari Ini

Sebarkan artikel ini

PERNAH suatu pagi entah tahun berapa saya lupa, tapi yang jelas awal ramadan dalam perjalanan naik sepeda motor dari Sragen ke Ungaran, ketika masuk kota Salatiga ada operasi razia kendaraan motor di samping pos polisi. Sontak hati berdetak kencang, karena pada saat itu saya belum ber-SIM.

Tanggung, mau putar balik tidak mungkin karena satu arah. Hanya bisa pasrah. Rapal doa-doa tak henti seiring jalan sepeda yang kian mendekat dengan rombongan polisi. Polisi muda mendekat dan barangkali karena melihat raut muka saya yang tegang, dia tampak ramah saat meminta saya untuk menunjukkan kelengkapan surat-surat.

Ramah dan memberi hormat, tapi saya memendam jengkel kepadanya. Juga jengkel mengutuk diri, sebab tak memiliki SIM. Jengkel kenapa saya tak waspada kalau ada operasi. Jengkel kenapa saya tidak mengulur waktu, menunda keberangkatan, sehingga selamat dari sergapan polisi.

Jengkel, kenapa saya tidak tiba di tempat operasi itu satu jam sebelumnya. Campur aduk, kesal, sesal, menyalahkan diri, sembari menunjukkan STNK dan KTP.

“Kok KTP, mana SIM-nya ?” tanya polisi muda itu.
“Belum punya, Pak.”
“Lho Mas kan mestinya tahu, ini di jalan raya, kalau bersepeda motor ya harus punya SIM.”
“Iya Pak, saya tahu….”
“Sudah tahu, kenapa masih nekat?”
“Iya, saya salah.”

Saya yang biasa suka mendebat, dibuat tak berkutik di hadapan polisi muda itu. Saya tak punya keberanian melawan omongannya. Sudah keburu under presure dan memang di posisi salah. Berkendara motor di jalan utama tapi tidak berkelengkapan surat jalan.
“Sudah, sana masuk pos!” lanjut polisi muda itu mendorong saya turut mengantre di belakang orang-orang senasib yang hendak menyelesaikan perkara di pos polisi.

Satu per satu orang keluar dari pos. Dan dari kesemua yang telah menyelesaikan perkara, tiada yang menunjukkan raut muka puas. Muka masam dan aroma kesal jelas terbayang dari mereka. Tersirat berbagai rupa kesalahan telah mereka perbuat. Ada yang tidak memliki SIM sebagaimana saya; SIM ada tapi tanpa STNK; malah ada yang sama sekali tidak mengantongi keduanya. Ada pula kesalahan, kaca spion cuma sisi kanan saja, lampu depan mati, dan sebagainya.

Tibalah giliran saya, “Tahu kesalahannya?” tanya polisi tua sangar sembari mengamat-amati KTP saya.
“Tidak bawa SIM.” tukas saya.
“Gimana, mau diselesaikan di sini atau tilang? Kalau mau tilang, satu bulan lagi ke sini, ke pengadilan negeri Salatiga!”
“Kalau mau diselesaikan di sini, gimana?” saya sungguh berharap cepat beres, tidak harus menunggu satu bulan kemudian.
“Kamu bisa titip uang ke saya. Kesalahanmu yang tak punya SIM, berarti Rp 50.000,00 yang mesti dititipkan di sini, dan nanti akan saya serahkan ke pengadilan.”

Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung merogoh kantong dan menyerahkan lembaran biru, Rp 50.000,00, kepadanya. Saya benar-benar tak ingin berpanjang masalah dan berlama-lama di ruang seukuran kamar mandi itu. Polisi tua itu pun, sembari terus mematut muka sangar, menyodorkan kembali STNK dan KTP saya. Saya berbegas keluar dari pos, dan ternyata yang berjajar mengantre masih banyak. Hmmm…berapa lembar saja yang bakal menumpuk di meja pos polisi itu!

Dan, kita mafhum, serasa rahasia umum, kalau pun lembaran-lembaran uang itu diserahkan ke pengadilan, tidak akan utuh semua, sebagian masuk kantong pribadi. Aparat-aparat itu—bukan yang sekarang lho!—biasa memperkaya diri dengan menggelar razia di jalan raya secara dadakan. Memanfaatkan kelengahan para pengguna jalan.

Memang, bukan sepenuhnya kesalahan polisi yang gemar memalak, tetapi kita sedari awal tidak biasa patuh hukum. Langgar-melanggar peraturan lalu lintas, hal yang lazim di jalan, terutama pada malam hari. Ketika ada razia, kita gugup dan menyadari kesalahan, tapi enggan mengikuti prosedur pengadilan. Kita malas meniti proses yang tersepakati. Sehingga, cara “damai” yang kita tempuh. Kita gampang mengobral lembaran uang, ketimbang mengantongi kertas bukti pelanggaran.