Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung merogoh kantong dan menyerahkan lembaran biru, Rp 50.000,00, kepadanya. Saya benar-benar tak ingin berpanjang masalah dan berlama-lama di ruang seukuran kamar mandi itu. Polisi tua itu pun, sembari terus mematut muka sangar, menyodorkan kembali STNK dan KTP saya. Saya berbegas keluar dari pos, dan ternyata yang berjajar mengantre masih banyak. Hmmm…berapa lembar saja yang bakal menumpuk di meja pos polisi itu!
Dan, kita mafhum, serasa rahasia umum, kalau pun lembaran-lembaran uang itu diserahkan ke pengadilan, tidak akan utuh semua, sebagian masuk kantong pribadi. Aparat-aparat itu—bukan yang sekarang lho!—biasa memperkaya diri dengan menggelar razia di jalan raya secara dadakan. Memanfaatkan kelengahan para pengguna jalan.
Memang, bukan sepenuhnya kesalahan polisi yang gemar memalak, tetapi kita sedari awal tidak biasa patuh hukum. Langgar-melanggar peraturan lalu lintas, hal yang lazim di jalan, terutama pada malam hari. Ketika ada razia, kita gugup dan menyadari kesalahan, tapi enggan mengikuti prosedur pengadilan. Kita malas meniti proses yang tersepakati. Sehingga, cara “damai” yang kita tempuh. Kita gampang mengobral lembaran uang, ketimbang mengantongi kertas bukti pelanggaran.
Entah siapa yang memulai duluan. Polisi, yang tak lain merupakan aparat penegak hukum, yang menyelewengkan wewenangnya, atau kita para anggota masyarakat yang tidak taat peraturan. Polisi yang memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri, atau kita yang malas menjalani proses, sehingga malah menyuburkan perilaku koruptif.
Saya bayangkan, sekira kita tegas meminta surat tilang, polisi pun tidak akan sewenang-wenang memanfaatkan kesengajaan atau pun ketidaksengajaan kita di jalan. Korupsi yang konon kian akut menggurita, tak menjalar luas dan menjadi kelaziman di masyarakat. Kita mulai dengan belajar taat aturan, melengkapi surat-surat perjalanan, ber-helm standar, dan bersikap pelit alias tidak gampang merogoh kocek rupiah untuk sekadar melicinkan persoalan.
Pendek kata, melawan korupsi mesti dimulai dari diri sendiri, yang berani dan tegas menindas diri, kejam untuk tidak gampang mengambil kesempatan, dan bersedia menangguhkan kebiasaan jalan pintas. Bukankah hakikat puasa itu tidak mencuri kesempatan demi kepuasan diri? Hakikat puasa itu kesediaan untuk menunda kesenangan sesaat. Menampik segala kebolehan demi kesehatan diri dan bahagia bersama.
Walhasil, puasa di hari ini—juga yang kemarin-kemarin dan yang akan datang—adalah, meminjam ungkapan Goenawan Mohamad dalam kicauan paginya, ritual berpagi-pagi dahulu, bersiang-siang kemudian. Berbagi hati dahulu, berbagi senang kemudian.