Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Qanaah, Nrimo ing Pandum

Redaksi
×

Qanaah, Nrimo ing Pandum

Sebarkan artikel ini

Ibrahim dan istrinya Sarah merupakan simbol masyarakat kebendaan, secara materi ia sudah memiliki kebahagiaan itu. Namun ia merasa belum memiliki kepuasan karena kebahagiaan itu belum tercukupi dengan kehadiran seorang anak.

Sarah pun meminta agar suaminya Ibrahim mengawini budaknya yang bernama Hajar. Dari istri keduanya inilah Ibrahim menerima anugerah kebahagiaan dengan kehadiran anak laki-laki yang bernama Ismail. Sedangkan dari Sarah ia memiliki putra bernama Ishaq.

Namun kebahagiaan itu tidak berujung lama, Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk mengkurbankan anaknya Ismail (QS. Ash-Shaffat/37: 100-113). Didalam surat Ash-Shaffat tersebut tersaji dialog keinginan Ibrahim untuk memiliki anak yang shalih, lalu Allah mengabulkankannya.

Kemudian berlanjut pada mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Selanjutnya Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada Ismail untuk memberikan komentar dan tanggapan. Dialog Ibrahim dan Ismail mengisyaratkan untuk membuka pikiran dan hati, maka diungkapkan dalam, “falamma balagha ma’ahu sya’ya.” Ayat yang mengindikasikan bahwa Ismail sudah tidak anak-anak lagi, tetapi ia juga belum dewasa; Ismail baru menginjak usia baligh.

Sebelum menginformasikan tentang mimpi itu Ibrahim memanggil anaknya dengan panggilan penuh cinta, “ya bunayya.” Panggilan semacam ini menunjukkan bahwa ia sangat sayang kepada anaknya. Inilah ujian “Kerelaan Ibrahim dan Kesabaran Ismail.” Dimana nabi Ibrahim sebelumnya tidak rela, jika ia tidak memiliki keturunan, begitupun Sarah istrinya juga tidak rela suaminya bersedih.

Maka Sarah dengan kerelaan hati meminta Ibrahim menikahi budaknya Hajar. Saat memiliki Ismail, Ibrahim tidak rela berpisah denganya, namun ia kemudian memiliki kerelaan untuk menyembelih anaknya Ismail.

Masyarakat kebendaan luluh ketika Nabi Ibrahim mendapatkan keduanya yakni kebahagiaan jasmani dan rohani dengan kesabaran Ismail, ia memiliki kerelaan untuk dikurbankan dimana pada usia itu merupakan masa kedekatan seorang anak kepada orang tuanya.

Hal ini juga tergambar dalam adegan dengan background bangunan ka’bah. Adegan dimulai dengan pemasangan batu oleh seorang tukang bernama Ibrahim. Dalam pemasangan batu tersebut dilukiskan kerja sama yang luar biasa yang termaktub dalam kalimat, “wa idz yarfa’u Ibrahima al-qawa’id min al-bayt (QS. Al-Baqarah/2: 127-1280.” Ibrahim sebagai tukang dan Ismali sebagai pelayan untuk membangun bangunan suci bernama ka’bah atau baitullah.

Qanaah kerelaan atau nrimo ing pandum

Kita diajarkan untuk memiliki sikap, “Qanaah,” yakni perasaan kerelaan dan kepuasan yang yang telah dimiliki, merasa cukup apa adanya.