Usman mengatakan, Amnesty International mengirim surat kritik kepada Istana. Ia menyayangkan bahwa ketika selama ini Indonesia diapresiasi karena serius memperhatikan penanganan konflik Palestina, justru mengambil langkah mundur atas pilihan sikap diplomatiknya di R2P.
Padahal selain Palestina, Indonesia juga masih memiliki tanggung jawab yang besar dalam upaya penghentian kejahatan kemanusiaan di Myanmar, Suriah, maupun di dalam negeri.
Langkah Mundur
Suara Indonesia tidak akan menghentikan langkah PBB mengesahkan pembahasan R2P sebagai agenda rutin: Ada 115 negara yang mendukung agenda tersebut.
Akan tetapi, publik menilai pilihan sikap Indonesia bermasalah dilihat dari sisi manapun. Dibanding misalnya memilih ‘Abstain’, jelas bahwa implikasi pilihan ‘No’ akan banyak memengaruhi dinamika penanganan HAM negara.
Tentu butuh waktu pula untuk memulihkan nama Indonesia yang sudah telanjur dicap negatif dari publik dunia, dengan menyematkan Indonesia ke dalam ‘daftar negara memalukan’. Ironisnya, citra itu tersemat justru ketika Indonesia sedang menjadi salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Sikap politik ‘No’ bagaikan nila setitik terhadap seluruh upaya Indonesia mendukung R2P sejak Konferensi Tingkat Tinggi Dunia yang digelar pada tahun 2005 di New York City, Amerika Serikat. Saat itu, bersama 190 negara lainnya, Indonesia ambil bagian untuk menangani dan mencegah kejahatan kemanusiaan di bawah hukum internasional.
Negara-negara itu sepakat mengatur penanganan dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan kemanusiaan lainnya dalam berbagai bentuk. Ada tiga pilar yang kemudian disepakati sebagai prinsip responsibility to protect and the prevention pada pertemuan PBB yang digelar pada 2009, yakni:
- Negara bertanggung jawab melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan;
- Komunitas internasional wajib membantu suatu negara dalam merealisasikan kewajiban untuk melindungi yang dimiliki oleh negara tersebut; dan
- Komunitas internasional wajib mengambil tindakan tepat waktu, melalui jalur diplomasi perdamaian dan kemanusiaan, dan jika langkah tersebut gagal, maka dapat menggunakan langkah yang lebih kuat.
Pilihan ‘No’ akan menyulitkan Indonesia, terutama ketika masih banyak kejahatan HAM dunia yang mesti ditangani Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Gaya diplomasi yang buruk ini pun, diduga, masih akan jadi isu pelik dan liar. Apalagi sebetulnya soal-soal HAM sudah jelas diatur oleh konstitusi kita sendiri. []