Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Ruang Buku di Rumah

Redaksi
×

Ruang Buku di Rumah

Sebarkan artikel ini

Padahal ideologi-ideologi itu terlampau kaku menghadapi kenyataan. Komunisme, bahkan Marxisme, tidak sanggup menanggulangi ketimpangan perekonomian. Buktinya, kini semua larut dalam pusaran perdagangan bebas. Begitu juga ideologi Islam kesulitan menyelaraskan dengan kemajemukan bangsa, bahkan kemajemukan umat Islam. Oleh karena itu, pergeseran cara berpikir ideologis menjadi ilmu adalah keharusan.

Ranah ilmu menuntut kita bisa bersikap terbuka, mengakrabi perbedaan, dan menjunjung kebebasan berpikir. Sebaliknya corak pemikiran ideologis cenderung kaku dan tertutup. Nah, perihal corak keilmuan, aktivitas yang tak bisa ditawar adalah menggalakkan kegairahan belajar.

Istilah belajar di sini saya pahami sebagai upaya memahami suatu secara lebih. Sehingga, aktivitas yang dimaksud adalah membaca. Sebab membaca tidak sekadar menggali informasi, tetapi jauh lebih penting lagi adalah untuk meningkatkan pemahaman.

Bagi kalangan terpelajar, seperti siswa sekolah, pendidik, dosen, cendekiawan, budayawan, atau pun seniman, tidaklah tabu dengan tradisi membaca. Namun, berbeda dengan kebanyakan. Membaca belum dianggap pekerjaan yang menguntungkan. Mereka menilai: hanya akan membuang waktu, pemborosan energi, tidak produktif.

Kita patut miris dengan minimnya kegiatan membaca ini. Namun bisa jadi kita juga harus terpaksa maklum, karena memang kita tidak disiapkan menjadi individu pembelajar. Mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sekadar dicetak menjadi kuli pembangunan, buruh pabrik baik domestik maupun internasional dan manusia subsistem lainnya.

Konon saat kita berkesempatan duduk di bangku sekolah, tidak ada tuntutan untuk sanggup mandiri, tidak ada pembiasaan kegiatan penelitian, tidak ada dorongan untuk mengembangkan daya cipta. Sekolah-sekolah yang bertebaran sebatas membenarkan teori dan menghafal banyak pepatah, sehingga gagap begitu selesai sekolah dan mengantongi ijazah perguruan tinggi.

Keprihatinan betapa mutu pendidikan kita dan etos pas-pasan guna menggali pengetahuan, sepatutnya bersama-sama kita sikapi dengan kepala dingin. Budaya lisan lebih semarak ketimbang budaya membaca. Apalagi kini, budaya digital telah merasuk ke nadi.

Jadi, belum juga kita membiasakan kegiatan membaca sebagai peralihan dari budaya lisan, kita sudah tesergap oleh budaya digital. Sehingga, maraknya budaya desas-desus, gosipria, dan hobi mengumpulkan bahan bualan yang minim data dan fakta, harus kita tandingi dengan aktivitas literasi.

Literasi dari bahasa Latin, literatus, artinya orang yang belajar. Lalu, kita hanya bisa belajar dari “yang lebih baik”, yaitu membaca dengan tujuan mendapatkan pemahaman, bukan mengingat lebih banyak informasi dengan tingkat pemahaman yang sama.