Sementara di kita, ada lompatan dari budaya lisan langsung ke budaya digital. Budaya membaca belum tergarap secara matang. Tak pelak, Indonesia menjadi penyumbang jumlah pengguna media sosial, terutama facebook, terbesar urutan keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil. Hal itu sekaligus mencatatkan nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna media sosial paling banyak.
Lantas, guna turut menyemarakkan kegemaran membaca tidak cukup dengan menunggu dan mengandalkan seruan para pemuka agama, tokoh cendekia, atau pun duta baca. Tapi segenap lapisan mesti bergandeng tangan, dan hal simpel yang bisa kita kerjakan adalah membikin perpustakaan mini di rumah.
Keberadaan perpustakaan tersebut dengan sendirinya akan menebar aura belajar sepanjang hayat kita di rumah. Meski tidak sampai tuntas mendalami isi satu buku, misalnya, toh minimal dalam keseharian kita terbiasa membaca judul-judul buku yang terkoleksi. Ha…ha…ha….
Suasana pustaka ini setidaknya akan turut megisi ruang kosong di tengah budaya digital yang memang tak bisa ditawar lagi. Suka tak suka, kita dikelilingi oleh banjir informasi media sosial. Ya, antara rela tak rela. Oleh karenanya, buku adalah mitra dialog yang kudu dihadirkan. Memang, bisa saja kita cukup membaca koran, majalah, atau mendengar radio, menonton televisi, atau menyuntuki facebook, instagram, dan media online yang lain, tapi itu hanyalah pengayaan informasi.
Itu hanya untuk menambah pundi-pundi informasi, tetapi tidak bisa meningkatkan pemahaman, karena pemahaman kita setara dengan bacaan, atau tontonan, atau status-status dan kolom di media sosial. Sedangkan tatkala membaca buku—pinjam istilah Charlotte Mason, buku bermutu living book—yang bercita rasa sastrawi, bisa meningkatkan pemahaman, memantapkan visi hidup. Sekaligus kita bisa berelaksasi.
Alhasil, membaca buku, selain mendapatkan informasi dan pemahaman, kita juga akan mendapatkan hiburan. Maka, di tengah kemelut globalisasi yang serba digital ini, kita benar-benar harus menjadi individu terbuka, menjunjung kebebasan berpikir. Individu yang tidak alergi dengan ragam gagasan. Teknisnya, ya, hadirnya sebuah ruang buku di rumah.
Ungaran, 30 Oktober 2020