Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Ruang Buku di Rumah

Redaksi
×

Ruang Buku di Rumah

Sebarkan artikel ini

Maka, budaya tanding atas budaya lisan dan digital di sini tidak dengan menuntut MUI agar menerbitkan fatwa haram acara infotainment TV, fatwa haram menggunakan fasilitas jejaring sosial, dan seterusnya, dan sebagainya. Sebab hal itu malah kontraproduktif, tidak tepat sasaran. Bukankah hukum yang berlaku di kehidupan ini hukum tarik-menarik?

Artinya semakin besar energi negatif yang kita lahirkan, sebesar itu pula energi yang kita tuai. Makin latah kita membodoh-bodohkan pihak lain, berarti kita sendiri yang sesungguhnya bodoh.

Fakta kekonyolan di masyarakat itu data. Masyarakat dan kita sendiri acap kali lengah terbuai oleh guyonan-guyonan murah ala “bukan empat mata”. Kita sedemikian khusyuk memelototi “opera van java”.  Nah, kecenderungan itu bukan berarti harus dimatikan. Sebab belum tentu kita akan lebih produktif menghasilkan karya adiluhung tatkala seluruh media menayangkan acara dokumenter pengetahuan.

Lalu? Langkah praktis yang bisa saya tawarkan adalah mencipta suasana belajar di rumah masing-masing. Setiap pojok ruang, kita hiasi dengan tumpukan buku yang tertata rapi. Bahkan di ruang tamu yang biasanya hanya kita isi dengan asesoris impor, bisa kita selipkan satu dua buku guna menemani asesoris yang ada.

Selagi senggang, selain asyik dengan ragam acara TV, bisa sesekali melirik samping kanan kiri ruangan yang terpajang tumpukan buku. Lambat laun kita akan tersapa oleh buku-buku, yang akhirnya hobi mengunyah buku. Buku yang saya maksud di sini pun bukan sembarang buku, melainkan buku-buku berbobot tinggi. Karena, sekali lagi kita tidak semata untuk mendapatkan informasi, apalagi hiburan, tapi meningkatkan pemahaman.

Memang, akhirnya bukan pekerjaan yang seolah tinggal membalik telapak tangan. Butuh kesiapan mental dan energi yang tidak gampang putus asa. Sebab kita sedang bertanding budaya. Peralihan budaya di negeri ini berbeda dengan peralihan yang terjadi di Barat. Eropa mengalami peralihan runtut, elegan bin mulus: budaya lisan—budaya membaca—budaya digital.

Sementara di kita, ada lompatan dari budaya lisan langsung ke budaya digital. Budaya membaca belum tergarap secara matang. Tak pelak, Indonesia menjadi penyumbang jumlah pengguna media sosial, terutama facebook, terbesar urutan keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil. Hal itu sekaligus mencatatkan nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna media sosial paling banyak.

Lantas, guna turut menyemarakkan kegemaran membaca tidak cukup dengan menunggu dan mengandalkan seruan para pemuka agama, tokoh cendekia, atau pun duta baca. Tapi segenap lapisan mesti bergandeng tangan, dan hal simpel yang bisa kita kerjakan adalah membikin perpustakaan mini di rumah.