Membangun sikap menumbuhkan peran budaya, bukanlah persoalan yang mudah. Permasalahannya, karena ruang kreatif budaya terasa makin sempit
RUANG kreatif sebagai instrumen dalam menyampaikan ide, gagasan atau karya, tentunya mempunyai tujuan untuk menghasilkan karya. Dalam hal ini, patron budaya sangat memegang nilai penting dalam melahirkan karya-karya tersebut. Bagaimana menuangkan bahasa dan seni, gerak serta gambar adalah sebuah budidaya atau kreasi dalam penciptaan karya. Dimana budaya merupakan satu-kesatuan dalam membentuk nilai-nilai etika dan estetika.
Kenapa ruang kreatif ini kadang menimbulkan ekses negatif, sementara seni dengan berbagai aliran harus mengisi ruang-ruang tersebut? Dalam beberapa waktu yang lalu, faktanya para penggiat seakan vakum melahirkan karya-karya budaya!?
Ini kita bisa maklumi, karena dengan adanya pembatasan sosial, ruang-ruang tersebut menjadi hambar. Karena seni meskipun dengan aliran abstrak, harus ada hasil visualisasi yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan oleh penikmatnya.
Kehadiran teknologi yang memanfaatkan dimensi digital, memang cukup menjanjikan bagi para penggiat seni audio visual, atau juga seni sastra. Tetapi tidak demikian dengan penggiat seni lainnya, seperti seni lukis dan seni teater (salah satu contoh).
Ekspresi yang dilahirkan tidak hanya dengan teknik permainan digital (pemanfaatan kecerdasan buatan). Bagi mereka dimensi ruang adalah bekerja dengan teknik tradisional (manual), sementara interaksi sosial yang sangat terbatas.
Kenapa kemudian, gagasan atau ide berupa kritik harus mencederai kebebasan budaya. Nilai budaya seakan dikorbankan, dan diartikan sebagai kreativitas seni sementara muatannya sarat dengan kepentingan politik.
Kita cukup prihatin beberapa waktu lalu, ketika kebebasan seni mural digunakan dengan dalil pembenaran yang mengatasnamakan seni. Bagaimana tembok-tembok sebagai ruang kreatif dianggap sebagai tempat melahirkan karya seni mural. Tentu kita harus menempatkan di sisi mana, seni mural ini menjadi sebuah nilai karya.
Tekanan-tekanan yang mengiringi perubahan ekosistem sosial, seakan menjadi alibi untuk memerdekakan pembenaran samar. Pikiran dan waktu yang terforsir oleh sebuah persoalan bangsa yang berlabel pandemi, seakan meluluhlantakkan sebuah kepastian logika. Kenapa menjadi sebuah label, karena senantiasa mata kita membaca dan melihatnya dari waktu ke waktu.
Perubahan dan pergeseran nilai seperti angka yang menyusun algoritma sosial. Sehingga peradaban ini menjadi sebuah kesimpulan tanpa perlu mencari solusi matang dan kuat.
Hampir semua orang tercengang dengan presisi mengatasi masalah penyebaran pandemi virus secara global (kompleks) yang harus dilewati. Meski dalil ancaman atau gelombang wabah masih bisa terulang kembali.
Persoalan hidup seperti menguraikan benang merah yang karut-marut. Hidup dalam ketakutan, tekanan psikologi, ancaman hoaks dan rasa curiga menjadi sebuah ketidakpastian yang akhirnya membuat kebenaran budaya, hidup dalam ruang sempit.
Apakah kita mulai kehilangan esensi budaya? Nilai yang sering kita kultuskan sebagai identitas dan jati diri bangsa. Naluri budaya yang meletakkan nilai-nilai etika dan estetika, seperti sebuah norma yang tidak lagi sejalan dengan tantangan zaman, yang harus dihadapi.
Replika peradaban mulai beranjak dalam konteks baru, meski harus diraba dengan morfem klasik, agar kita terkesan masuk di era globalisasi yang semakin modern.
Simbol dan istilah adalah fenomena yang membuat batasan zaman jadi berbeda. Kita menangkap revolusi ini dari bahasa-bahasa instan (adopsi teknologi), tanpa memperhitungkan peran linguistik.
Kita kehilangan norma, tetapi kita membiarkan peradaban yang menjawabnya. Istilah penyebaran pandemi covid-19, tercatat dan melahirkan literasi istilah yang beranak-pinak dalam pengembangan dan kemajuan iptek.