“Untuk dapat melihat perilaku manusia sebagai hukum, maka diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai hukum. Yaitu tidak hanya sebagai peraturan (rule), tetapi juga perilaku (behaviour). Selama kita bersikukuh, bahwa hukum itu adalah peraturan dan tidak ada yang lain, maka sulitlah untuk memahami, bahwa hukum itu juga muncul dalam bentuk perilaku.” (Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku: Bab III dan IV).
Padahal, banyak sekali contoh peran perilaku sebagai hukum (Prof Tjip juga sering menyebutnya ‘hukum-di-luar-teks’) yang ada di Indonesia.
Apa yang dilakukan mahasiswa terhadap Presiden Soeharto pada 1998 adalah satu contoh paling mudah dipahami. Di mana, mahasiswa menentukan, berdasarkan pengalaman batinnya, tentang apa yang mereka anggap mencerminkan keadilan. Di saat yang sama, mereka menyingkirkan undang-undang, teks-teks, yang menyebut bahwa kekuasaan Presiden Soeharto masih berlaku sejauh konstitusi membolehkan.
Berhukum Secara Luar Biasa
Kemauan institusi hukum kita untuk melihat perilaku masyarakat, menurut Prof Tjip, adalah hal luar biasa yang perlu dilakukan. Langkah ini dapat dimulai dari kemauan untuk melihat kenyataan, bahwa dengan berhukum secara biasa, di mana hukum (legislatif, eksekutif, yudikatif) menjadi pekerjaan rutin seperti mesin, selalu gagal meredam suasana gejolak yang terjadi setiap saat.
Pada kenyataannya di Indonesia, hukum memang selalu mendapat gugatan. Mahasiswa berteriak di depan Istana; menggeruduk masuk ke dalam ruang sidang DPR; unjuk rasa di depan kantor Mahkamah Konstitusi. Keadaan bergejolak itu paling banyak mencerminkan betapa ada sesuatu yang kurang dalam menjalankan hukum.
Pada akhirnya, dalam pemikiran progresif, sangat penting menyadari bahwa hukum harus selalu menimbang dinamika masyarakat. Dan langkah ‘hukum-di-luar-teks’ itu tidak dapat diabaikan. Lebih-lebih saat para penegak hukum dihadapkan pilihan sulit, antara memperjuangkan undang-undang atau mempersembahkan keadilan bagi masyarakat banyak.