Scroll untuk baca artikel
Opini

Saya Mimpi Jadi Kepala Negara di Negeri Dongeng

Redaksi
×

Saya Mimpi Jadi Kepala Negara di Negeri Dongeng

Sebarkan artikel ini
Oleh: Anthony Budiawan*

Barisan.co – Saya bermimpi menjadi Kepala Negara di Negeri Dongeng. Ketika itu, keadaan negara dan kondisi sosial sangat menyedihkan. Amburadul. Perbedaan sosial sangat menyolok. Di satu sisi, rumah gubuk tidak layak huni terpampang sejauh mata memandang. Di lain sisi, gedung bagaikan istana berjejeran dijaga petugas penjaga keamanan.

Ekonomi Negeri Dongeng dikuasai sekelompok kecil kapitalis. Jumlahnya di bawah 1 persen penduduk. Bahkan mungkin hanya 0,5 persen. Mereka menguasai seluruh sektor ekonomi, termasuk sumber daya alam. Dari sumber daya mineral sampai sumber daya perkebunan. Jumlahnya berjuta-juta hektar.

Kapitalis di Negeri Dongeng menguasai hampir 60 persen pendapatan nasional. Padahal jumlah mereka paling hanya ratusan ribu orang saja. Sedangkan pekerja yang jumlahnya sangat besar hanya menikmati sekitar 30 persen pendapatan nasional. Jumlah pekerja bisa sampai seratus juta orang lebih. Maklum, Negeri Dongeng padat penduduk.

Kaum pekerja hanya mendapat remah-remah ekonomi. Kondisi ini terbalik dengan di Negeri Seberang. Di sana pekerja menikmati 50 hingga 70 persen pendapatan nasional. Pengusaha hanya dapat 20 hingga 30 persen saja. Memang Negeri Dongeng menyedihkan.

Daya saing ekonomi Negeri Dongeng sangat lemah. Neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan defisit. Devisa mengalir keluar. Kurs RND (mata uang Negeri Dongeng) seharusnya terdepresiasi. Tapi di-doping terus dengan utang luar negeri untuk menutupi devisa yang mengalir ke luar negeri akibat defisit transaksi berjalan menahun. Tidak heran, utang luar negeri meningkat tajam.

Keuangan Negeri Dongeng sangat lemah. Penerimaan pajak sangat rendah. Anggaran keuangan negara defisit terus menerus. Utang negara pun membengkak. Untuk bayar bunga harus dari utang lagi. Keuangan negara praktis bangkrut. Makanya, kepala negara Negeri Dongeng mendikte Bank Dongeng, nama Bank Sentral Negeri Dongeng, untuk membantu keuangan negara melalui cetak uang.

Masyarakat berpendapat para kapitalis Negeri Dongeng sangat serakah. Mereka menguasai semua elemen negara. Dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Sistem politik ini mencerminkan sistem kekuasaan. Selain membagi-bagi kekuasaan, rakyat juga curiga mereka membagi-bagi uang anggaran negara. Tentu saja melalui mega proyek. Sedangkan hukum hanya tajam ke rakyat jelata, tetapi tumpul kepada penjilat kekuasaan.

Kapitalis dan kartel penguasa sangat serakah. Pekerja yang hanya menikmati remah-remah ekonomi masih mau diperas lagi. Hak mereka masih mau dirampas, untuk kembali ke era perbudakan.

Dalam kondisi ekonomi dan politik yang kacau seperti itu, saya berhasil memenangi pemilihan kepala negara. Karena sepertinya rakyat sudah muak terhadap rezim oligarki kekuasaan, oligarki-tirani.

Pada saat kampanye saya hanya berjanji 3 hal saja. Tidak banyak. Tidak sampai 60 janji. Pertama mengembalikan kedaulatan rakyat yang terampas. Kedua, menegakkan hukum seadil-adilnya bagi semua orang tanpa kecuali. Termasuk penegakan hukum bagi pejabat dan penguasa. Ketiga, memberi keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat yang sekarang hanya menerima remah-remah ekonomi.

Fungsi legistor dikembalikan seutuhnya sebagai wujud kedaulatan rakyat. Legislator harus bekerja demi kepentingan rakyat dan bangsa. Pemilihan anggota legislator yang bermain uang akan diproses hukum, dengan ancaman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Partai yang minta mahar akan didiskualifikasi dengan ancaman dibubarkan. Pemimpinnya akan diproses hukum dengan ancaman hukuman mati.