BARISAN.CO – Sampai dengan semester pertama tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejumlah 1.758 bencana telah terjadi di Indonesia. Apakah ini angka yang besar? Tentu saja.
Kita hidup di Indonesia dan cukup hafal baik buruknya dan terbiasa dengan itu. Atas dasar inilah kita menganggap bencana yang jumlahnya tidak sedikit tadi hal paling wajar. Pada titik tertentu, walaupun cukup aneh, kita juga bisa menganggap bencana sebagai nikmat di mana keinginan untuk menanggulanginya bahkan hilang sama sekali.
Di satu sisi, pemerintah sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana diatur UU nomor 24 tahun 2007, tidak menunjukkan sinyal positif. Anda bisa membacanya di sini. Anda akan menemukan mereka hanya menyiapkan sedikit anggaran untuk mitigasi bencana.
Anda sebenarnya bisa juga mencari sendiri dokumen lain tentang kebencanaan yang dibuat oleh pemerintah. Tapi tak perlu kaget kalau kebanyakan di antaranya tidak mencerahkan.
Pada akhirnya, Anda jelas akan menyadari bahwa nihilnya pencerahan itu membuat kita seolah terperangkap ke dalam satu tatanan penuh risiko yang, sialnya, pertaruhan terbesarnya adalah nyawa kita masing-masing.
Kita sebetulnya punya sejarah bencana alam yang cukup lengkap dan bisa dipelajari tapi itu tidak dilakukan. Padahal bencana alam bukanlah sesuatu yang ‘sekali datang setelah itu pergi selamanya’. Bencana yang sudah berlalu justru juga merupakan absolute present sekaligus indeterminate future, masa kini dan masa depan yang akan mengiringi kita terus-menerus—Ia bisa berulang.
Jika melihat statistik kebencanaan, hari ini banjir menjadi masalah yang paling banyak terjadi dan paling merepotkan. Ia merepotkan lantaran pemicunya sangat dinamis bahkan sangat variatif. Peristiwa alam seperti curah hujan yang tinggi, pembendungan laut/pasang pada sungai induk, amblesan tanah dan pendangkalan akibat sedimentasi, serta aktivitas manusia, dapat dengan mudah menjadi alasan air setinggi satu meter bisa menggenangi halaman rumah kita.
Banjir terutama menjadi ancaman bagi kabupaten/kota pesisir di Indonesia. Menurut analisis yang dilakukan Kompas, akan ada sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia bakal terkena banjir rob tahunan pada tahun 2050 nanti. Sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut dan ada 8,6 juta warga terdampak. Kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun.
Akan tetapi lebih dari itu banjir bukan hanya berpotensi menenggelamkan wilayah pesisir di masa mendatang. Faktanya, banjir adalah ancaman nyata seluruh wilayah di Indonesia.
Laporan BNPB tahun 2020 mencatat ada sebanyak 332 kabupaten/kota di Indonesia yang berisiko tinggi terdampak bencana banjir; dengan sebanyak 170 juta jiwa orang berisiko terdampak banjir; serta nilai aset terpapar yang melebihi Rp750 triliun.
Dalam temuannya, BNPB menyebut bahwa tinggi rendahnya risiko ancaman banjir di sebuah wilayah amat bergantung pada 3 komponen utama yang saling memengaruhi, yaitu bahaya (hazard), ketahanan (capacity), dan kerentanan (vulnerability).
Komponen bahaya menjadi komponen yang sangat kecil—bahkan nyaris tidak mungkin—untuk diubah. Komponen ketahanan bisa ditingkatkan. Komponen kerentanan bisa diturunkan.
Pada wilayah-wilayah yang mengalami banjir intensif, umumnya ditemukan bahwa ada kombinasi antara bahaya tinggi, ketahanan rendah, dan kerentanan tinggi. Ciri-ciri paling sering ditemukan adalah sebagai berikut:
- Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis. Akibatnya resapan air hujan berkurang.
- Buruknya sistem drainase.
- Kemampuan maupun jumlah SDM terbatas.
- Teknologi peringatan dini tidak memadai.
- Anggaran minim.
- Pengurangan risiko masih berorientasi pada penanganan dan belum pada pencegahan.
Letusan Gunungapi, Gempa Bumi, dan Ihwal Mengerikan Lainnya
Sisi selatan dan timur negeri ini dikenal sebagai sabuk vulkanik (volcanic arc) di mana terdapat deretan gunungapi tua yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, hingga Sulawesi.
Secara total, ada sebanyak 127 gunungapi aktif terletak di Indonesia, dan 60% di antaranya merupakan gunungapi yang terus bergejolak.
Jika ada satu untuk disebutkan, tentu saja Gunung Merapi layak mendapat sorotan. Gundukan setinggi 2.930 meter ini, dalam seratus tahun terakhir, telah merenggut sekurang-kurangnya 2.000 nyawa dan membawa kerusakan yang luar biasa.
Ambil contoh letusan Merapi tahun 2010. Menurut catatan berita Tempo, Gunung Merapi pada saat itu melontarkan volume material sebanyak 100 juta meter kubik magma. Berikut kutipan berita lengkapnya:
“Gunung Merapi telah memuntahkan sekitar 100 juta meter kubik magma. Suhu magma itu—yang kemudian menjadi lava dan awan panas—mencapai sekitar 600 derajat Celcius. Jika asumsi suhunya sama, energi termal yang dilepaskan Merapi mencapai 12 megaton TNT. Ini sama dengan ledakan 600 bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945.”
Peristiwa meletusnya Gunung Merapi itu berlangsung selama tiga hari dimulai dari tanggal 26 Oktober 2010.
Sehari sebelum Merapi meletus, atau tepatnya 25 Oktober 2010, di belahan Indonesia yang lain, terjadi gempa bumi 7,7 skala richter yang mengguncang Kepulauan Mentawai dan merenggut 408 nyawa.
Ya. Bencana alam datang silih berganti di Indonesia. Dua peristiwa terakhir yang disebut berturut-turut itu agaknya menyumbang alasan pembenar atas tersematnya julukan “supermarket bencana alam” kepada Indonesia—julukan itu tidak jatuh dari langit.
Akan halnya ancaman letusan gunungapi, ancaman gempa bumi juga mewarnai gejolak bencana di Indonesia.
Tingginya aktivitas kegempaan bisa dilihat dari hasil pencatatan di rentang tahun 1815-2021. Terdapat lebih dari 60 kejadian gempa utama dengan magnitudo M > 6.0 yang penting untuk diamati.
Gempa bumi juga sering datang membawa daya rusak yang signifikan. Sepanjang tahun lalu, BNPB mencatat setidaknya ada sebanyak 28 kali gempa bumi yang menyebabkan kerusakan pada 2.750 rumah; 14 fasilitas pendidikan; 25 rumah ibadah; 4 perkantoran; serta 5 kios yang dimiliki masyarakat.
Gempa bumi agaknya penting menjadi perhatian utama. Secara teori, proses terjadinya gempa sangat sulit diamati secara langsung sebab melibatkan interaksi rumit antara materi dan energi yang terdapat pada sistem sesar aktif di bawah permukaan bumi.
Maka dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa gempa bumi membawa seribu kemungkinan. Dan semestinya ada persiapan yang benar-benar matang untuk meminimalisir kemungkinan terburuk.
Banjir, letusan gunungapi, dan gempa bumi adalah sebagian dari fakta tentang betapa berisikonya hidup di Indonesia. Selain tiga hal itu, ada pula tanah longsor, abrasi, angin puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan tsunami yang bisa datang sewaktu-waktu.
Sejak tahun 2006, bencana-bencana itu telah menyebabkan sekurang-kurangnya 20.252 jiwa meninggal; 2.020 jiwa hilang; 275.591 jiwa terluka baik berat maupun ringan; 50 juta jiwa menderita kerugian moril dan materil; dan 11 juta jiwa harus tinggal di pengungsian untuk sementara waktu setelah bencana terjadi.
Ada pula kerusakan baik itu rumah penduduk maupun fasilitas umum yang jumlahnya tak terperi. Rincian korban dan kerusakan bisa dilihat dalam tabel berikut:
Di atas kertas, sebetulnya pemerintah memiliki rencana untuk meminimalisir dampak bencana. BNPB sudah memetakan persoalan dengan baik lewat Rencana Nasional Penanggulangan Bencana yang disusun untuk tahun 2020-2024.
Tentu saja perlu komitmen politik yang kuat untuk mewujudkan rencana itu agar tercipta masyarakat yang sanggup menahan, menyerap, beradaptasi, dan memulihkan diri dari bencana. []
Diskusi tentang post ini