Barisan.co – Batik paling banyak disebut sebagai kain yang menunjukkan identitas kebangsaan. Penjelasan tentang itu bisa dari banyak sisi. Tapi, akan lebih mudah memahaminya dari sejarah hubungan batik dengan turisme yang semakin erat dari waktu ke waktu.
Kenyataan kontemporer mengukuhkan batik sebagai bagian dari turisme. Kalau turisme anjlok, penjualan batik niscaya menurun. Dan itu terasakan hari-hari ini. Banyak pengrajin mengurangi kapasitas produksinya karena tidak banyak wisatawan yang datang.
Dari publikasi BPS, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia bulan Agustus 2020 mengalami penurunan signifikan sebesar 89,22 persen dibandingkan jumlah kunjungan pada Agustus 2019.
Secara kumulatif (Januari–Agustus 2020), jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 3,41 juta kunjungan, atau turun 68,17 persen dibanding periode yang sama tahun 2019 yang berjumlah 10,71 juta kunjungan.
Awal-Mula
Dalam catatan sejarah batik Indonesia, diketahui bahwa batik pada mulanya merupakan kesenian gambar untuk pakaian para pembesar keraton Indonesia zaman dulu.
Oleh karena banyak dari pembesar tinggal di luar keraton, pada gilirannya batik dibawa oleh mereka keluar dari keraton dan dipakai di tempatnya masing-masing. Sejak itu, pelahan-lahan masyarakat umum ikut memakainya pada acara-acara tertentu.
Dalam konteks perdagangan dunia Abad ke-20, popularitas batik mulai menanjak pada 1908, ketika Gubernur Jenderal van Heutsz mendirikan perhimpunan turisme yaitu Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) di Batavia. VTV banyak mengiklankan turisme Hindia-Belanda lewat reklame, majalah, buku panduan, brosur. Dapat dikatakan, ini adalah awal turisme modern di Hindia-Belanda.
Namun catatan pentingnya, tahun 1908 juga menjadi tahun di mana Belanda secara sempurna mengakuisisi Bali dalam sebuah kampanye berdarah, yang jamak dikenal ‘Puputan Klungkung’. Belanda, pada saat itu, berusaha menancapkan kekuasaanya di Dewata, dan mendapat perlawanan masyarakat yang lebih memilih berperang sampai mati daripada hidup di bawah penjajahan.
Selasa, 28 April 1908, Bali menjadi lautan darah. Rakyat termasuk Raja Dewa Agung Jambe II (1903-1908) gugur dalam perang tersebut. Dalam bukunya berjudul Bali Chronicles, Willard A. Hana mencatat lebih dari seribu orang terbunuh (hal 140-141).
Berita tentang Puputan dengan cepat tersebar ke dunia. Kerajaan Belanda disorot dan dikecam oleh koran-koran internasional. Seperti dicatat oleh David Shavit, pembantaian oleh tentara Belanda mendapatkan gelombang protes di koran London, Paris, bahkan New York (07:2003).
Untuk itulah Kerajaan Belanda kemudian merasa perlu memperbaiki corengan citra internasionalnya. Selanjutnya, dilakukanlah pendekatan afirmatif untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap masyarakat koloni. Seperti dicatat Willard A. Hanna, Kerajaan Belanda memulai kebijakan etis, dengan menyiapkan orang-orang Belanda untuk menjalankan peran modernisasi kepada masyarakat Bali.
Tapi balik itu, Belanda tetap saja Belanda. Jika ada sumber daya yang dapat diuangkan, maka Belanda akan menguangkannya. Dan dengan segala eksotisme yang ada di Pulau Dewata, perhimpunan turisme (VTV) yang didirikan di Batavia seketika itu mendapatkan relevansinya. VTV kemudian mempromosikan Bali sebagai destinasi wisata.
Iklan ajakan berkunjung kepada warga Belanda yang tidak tinggal di Hindia-Belanda gencar disebar. VTV juga melakukan promosi kepada masyarakat berbahasa Inggris di Eropa, Asia, Australia maupun Amerika sebagai sasaran promosi.
Selain itu, pada tahun 1929 diterbitkan pula buku panduan berbahasa Prancis berjudul Java, I’Eden sous les tropiques; Bali, I’lle de Beauté dan Visitez Sumatra le pays des contrastes yang diterbitkan sebanyak 60.000 eksemplar dan dikirimkan ke berbagai alamat.