Dan, di sela suasana yang benar-benar terasa spesial itu, Putu Ayub lagi-lagi menandaskan bahwa “tidak ada tulisan yang langsung jadi baik, tulisan terbaik adalah tulisan yang terus diperbaiki.”
Hal itu juga diamini oleh Arinda. Ia berkisah sekilas tulisannya yang merupakan permak sana sini. Tulisan Arinda yang mengendap lama dalam file, kemudian ia ikutkan lomba di Kelingan dan jadilah kontributor terbaik dalam Cerita Keluarga Kelingan.
Namun, di atas segala-galanya saya mengacungi jempol pada semua rekan-rekan Kelingan. Baik yang terlibat dalam Cerita Keluarga Kelingan maupun yang belum. Dalam hal ini saya pengin mengatakan: ada anggapan bahwa kerja kepenulisan itu gampang-gampang susah.
Dikatakan gampang juga tak sepenuhnya benar, karena toh nyatanya menulis itu tidak gampang. Disebut susah, apalagi, sekelas Dewi Rieka pasti akan membantah, bahwa menulis itu tidaklah susah.
Saya mengambil yang sederhana saja. Saya meniru Rifki Feriandi yang mengikuti kesimpulan Dercartes, cogito ergo sum, jadi “saya menulis, maka saya bahagia”. Saya bahagia telah berbagi cerita.
Saya bahagia telah menuang unek-unek. Saya bahagia telah mengunggah status catatan. Dengan singkat kata, saya bahagia, benar-benar bahagia karena Tuhan menganugerahi saya kesempatan narsisisme.
Lantas, bagaimana dengan pesan Jean Marais kepada Minke? Saya kira tak perlu tergesa untuk menyematkan tugas ideal penulis di atas pundak Kelingan. Meskipun, bisa saja diarahkan ke sana, “mengisi hidup”.
Atau sebaliknya, sama sekali tidak, asal mengalir saja. Menurut saya tak jadi soal. Dua-duanya sah. Toh yang penting sekarang adalah bagaimana menggiatkan para anggota Kelingan itu untuk giat menulis.
Telah jadi rumusan bahwa menulis tak bisa dipisahkan dari membaca. Semakin giat membaca, makin kaya pula kosakata, dan kian gampang menuang gagasan dalam tulisan.
Nah, itu berarti beban pertama yang mesti dipikul adalah menggalakkan tradisi baca. Baru kemudian menyusul yang kedua: menulis. Atau tidak dengan pola linear, tapi siklik: membaca sekaligus menulis. Sehingga pelan tapi pasti akan lancar menulis. Menulis, sebagaimana membaca, tidak lagi jadi beban, tapi sebuah kesenangan. Menulis bisa bikin hati berbunga-bunga.
Satu lagi argumen yang perlu saya tandaskan. Merujuk pada kecakapan berkomunikasi: mendengar—berbicara, membaca—menulis. Kemampuan berbicara tak terlepas dari kemauan mendengar. Mengartikulasikan gagasan secara lisan kepada lawan bicara itu tak gampang, tapi penting.
Nah, supaya gampang mengurai ide secara lisan kudu diawali dengan kesediaan menjadi pendengar yang baik. Itu pula dalam menulis. Harus ada kesediaan untuk telaten membaca, terutama buku.