Dari kegemaran membaca, kemudian merembet jadi hobi menulis. Syukur jadi profesi. Kalaupun tidak, sekadar hobi menulis saya kira telah mencukupi. Sehingga di sana-sini, tidak akan lagi mendapati tulisan yang kabur topiknya, logika yang tak urut, kalimat yang tak efektif, gagasan yang tak berkembang, singkatan alay, dan seterusnya.
Memang benar, tidak semua harus menjadi penulis. Tidak semua mesti menempuh gaya hidup seperti Dewi Rieka. Atau Arinda Shafa. Namun, kemampuan menulis itu tetap penting.
Apalagi saat ini, era media sosial. Suatu era yang nyaris mensyaratkan kemampuan menulis sebagai jembatan menuju kemajuan. Bahkan simbol eksistensi. Diakui atau tidak, setiap postingan kita di media sosial adalah wujud kehadiran kita.
Maka, kalau mengutip Rifki Feriandi dalam buku Cara Narsis Bisa Nulis, tak salah kalau Mark Zukenberg menamai media sosialnya “facebook”. Face adalah wajah. Book sama dengan buku.
Jadi facebook adalah buku berwajah, buku tentang wajah. Sebagaimana yang kita tahu, eksistensi manusia itu disederhanakan dengan foto wajah. Maka akan lucu, sekiranya dalam KTP, SIM, atau kartu identitas kita yang lain, itu foto yang tertera bukan wajah, melainkan pantat, perut atau dada kita misalnya.
Kembali ke soal Kelingan. Impian saya tak muluk-muluk. Saya hanya berharap, Ungaran yang telanjur kondang sebagai kota industri garmen, atau tahu bakso, pada saat bersamaan juga akan disebut sebagai kota literasi.
Dengan keterlibatan Kelingan, besar harapan orang tahu bahwa Ungaran khususnya, dan Kabupaten Semarang pada umumnya, tidak sebatas Tahu Bakso Ibu Pudji, Ungaran Sari Garmen (USG), Cimory, Kopeng, Hotel dan karaoke di Bandungan. Itu adalah bagian lain dari Ungaran dan Kabupaten Semarang.
Ada sisi beda yang tak kalah penting, yaitu serombongan generasi yang mengukir hidup dengan mengekspresikan opini, menuang gagasan dalam tulisan. Generasi yang tidak lagi lemah mengolah kata.
Sehingga, setelah Cerita Keluarga Kelingan, saya mendamba akan lahir buku lagi yang mengeksplor warna-warni Ungaran. Itu saja.