Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Setelah Cerita Keluarga Kelingan

Redaksi
×

Setelah Cerita Keluarga Kelingan

Sebarkan artikel ini

ANGGAP saja ini adalah manifesto! Manifesto Keluarga Literasi Ungaran, atau yang kemudian familiar disingkat Kelingan. Kalau pun bukan, ya setidaknya saya akan terus berharap.

“Jelas menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup,” pesan Jean Marais kepada Minke dalam Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer.

Pesan Jean yang sontak merenggut niatan Minke untuk bisa meraup rezeki dari menulis. Pesan yang bernada ideologis. Dan, kita tahu bagaimana seorang Pramoedya telah membuktikan itu. Baginya, menulis adalah kerja kemanusiaan.

Lantas, bagaimana dengan Kelingan? Komunitas literasi ini berawal dari gagasan mulia Sasadara yang ingin menghimpun penulis lokal Ungaran. Sekaligus berharap kelak akan terpajang buku karya penulis lokal di rak Perpustakaan Daerah Kab. Semarang.

Sasadara, yang juga pegawai di Perpustakaan Daerah, meminta saya dan Dewi Rieka untuk menahkodai komunitas itu.

“Mas, ini harus, tidak boleh tidak, Sampean kudu menghidupkan komunitas penulis Ungaran.” tegas Sasadara saat itu. Dan, saya tak bisa mengelak. Apalagi Dewi Rieka, penulis kondang Anak Kos Dodol, pun menyambut gembira ajakan Sasadara.

Dan, terbentuklah Keluarga Literasi Ungaran, yang dalam edisi perdana diikuti Hani Widya, Dyah Setyamayanti, Aditya, dan Ranihana. Kemudian menyusul Afida Lathifah, dosen Antropologi Undip. Berikut Aryani, dan Wiwin.

Turun naik spirit komunitas pun tak bisa dihindari. Sampai kemudian masuk ke era WhatsApp, dibuatlah grup kelingan, anggota bertambah. Dan, terus bertambah. Saya sendiri sudah tak hafal lagi satu per satu anggota Kelingan. Dari yang hanya bertujuh orang, kini telah melampaui angka 66 (jumlah anggota).

Syahdan, kegiatan rutin Kelingan mulai bisa dirapikan. Ada kelas menulis cerpen. Juga kelas menulis cernak (cerita anak). Bahkan Kelingan, 2 Juni 2018, telah meluncurkan buku perdana antologi cerita pendek. Cerita bertema keluarga. Terdiri 21 karya dari 21 penulis di Kelingan.

Saya tak bisa membendung rasa bahagia, bangga, sekaligus haru pada rekan-rekan Kelingan yang bersicepat mengikuti proses buku perdana itu. Mereka pantang surut untuk menulis, menulis, dan terus menulis.

Kerja literasi yang memang tak gampang. Butuh keuletan. Juga saling menyemangati. Dan karya terbaik dari mereka masing-masing itu, oleh Putu Ayub, lantas dihimpun jadi satu karya antologi, Cerita Keluarga Kelingan.

Nah, sekali lagi saya tak bisa menahan rasa haru dengan pelibatan para rekan Kelingan. Saya melihat Dyah begitu semringah membacai tulisannya terbit. Juga Wiwin. Aryani, Irene, Lukas, serta Arinda Shafa. Kami pun saling bertukar tanda tangan.

Dan, di sela suasana yang benar-benar terasa spesial itu, Putu Ayub lagi-lagi menandaskan bahwa “tidak ada tulisan yang langsung jadi baik, tulisan terbaik adalah tulisan yang terus diperbaiki.”

Hal itu juga diamini oleh Arinda. Ia berkisah sekilas tulisannya yang merupakan permak sana sini. Tulisan Arinda yang mengendap lama dalam file, kemudian ia ikutkan lomba di Kelingan dan jadilah kontributor terbaik dalam Cerita Keluarga Kelingan.

Namun, di atas segala-galanya saya mengacungi jempol pada semua rekan-rekan Kelingan. Baik yang terlibat dalam Cerita Keluarga Kelingan maupun yang belum. Dalam hal ini saya pengin mengatakan: ada anggapan bahwa kerja kepenulisan itu gampang-gampang susah.

Dikatakan gampang juga tak sepenuhnya benar, karena toh nyatanya menulis itu tidak gampang. Disebut susah, apalagi, sekelas Dewi Rieka pasti akan membantah, bahwa menulis itu tidaklah susah.