Scroll untuk baca artikel
Blog

SMK Tak Sedang Baik-baik Saja

Redaksi
×

SMK Tak Sedang Baik-baik Saja

Sebarkan artikel ini

SEBAGAI Komite sebuah SMK swasta di kawasan perdesaan, setiap menjelang kelulusan seperti bulan-bulan sekarang ini, satu hal yang selalu menjadi keprihatinan saya adalah banyaknya siswa yang tidak mampu mengambil ijazah.  Rekap dari tahun kemarin jumlah ijazah yang tidak diambil sejak tahun 2006 adalah sebanyak 876 buah. 

Hal tersebut sebagian besar terkait dengan permasalahan kewajiban siswa kepada sekolah yang belum dapat dilunasi.  Jika dihitung rinci maka angka tunggakan alummni sampai saat ini totalnya mencapai Rp. 994 juta.  Dan jumlah total siswa saat ini adalah 1134 anak. 

SMK tersebut beroperasi sejak tahun 2006.  Jumlah siswa yang saat ini tergolong gemuk tersebut tentu saja dahulunya mulai dari hanya belasan anak.  Sekedar data tambahan, jumlah penduduk miskin di kawasan tempat SMK tersebbut berada adalah sekitar 10 % dari total penduduk yang mencapai kurang lebih 50 ribu jiwa.  Mayoritas pekerjaan orang tua murid adalah buruh tani dan buruh bangunan. 

Pertanyaannya apakah ijazah sudah tak diperlukan lagi oleh seorang siswa?  Apakah tidak diambilnya ijazah itu ada hubungannya dengan situasi kesejahteraan orang tua mereka?  Dan apakah dengan tidak diambilnya ijazah tersebut ada hubungannya dengan tingginya angka lulusan yang masih menganggur?   

Hingga saat ini total prosentase alumni yang masih menganggur angkanya mencapai 71 %.  Logikanya akibat tidak dapat memegang ijazah, maka kelulusan seseorang tidak dapat dibuktikan sehingga tidak dapat mengikuti kompetisi di dalam memperebutkan peluang kerja.  Itu jelas betul. 

Sekali lagi pertanyaannya adalah mengapa seorang siswa tidak mengambil ijazahnya?  Padahal ia tahu dengan ijazah itulah ia dapat membuktikan kompetensinya sekaligus dapat mengikuti kompetisi memperebutkan peluang kerja yang tersedia.  Yang itu juga berarti sebuah ikhtiar untuk segera keluar dari jerat kemiskinannya.

SMK yang seringkali diolok-olok sebagai sekolah menengah ke bawah  atau yang juga diplesetkan dengan sekolah Minus Kesejahteraan sepertinya adalah sebuah fakta sosial bukan sekedar sebuah plesetan belaka.  Ada semacam lingkaran setan yang melingkupi SMK.  Lingkaran setan itu adalah  karena kemiskinan seseorang maka mereka akan menyekolahkan anak-anaknya di SMK.  Harapannya agar dapat langsung bekerja. 

Namun karena situasi kesejahteraan pula yang menyebabkan seorang siswa tidak mampu mengambil ijazahnya sehingga harapannya untuk segera bekerja pupus sudah.  Dan itu berarti gagal untuk keluar dari kemiskinan.  Dan pada umumnya pihak sekolah akan menahan ijazah apabila seorang siswa belum dapat melunasi kewajibannya kepada sekolah.  Bukankah sekolah sekarang gratis?  Sebagai jargon politik mungkin saja itu benar adanya. 

Tapi pada kenyataannya tidak dapat dioperasionalkan apalagi untuk sekolah swasta.  Jika memang begitu mengapa sekolah tersebut masih dapat beropersional?  Jawabannya adalah gali lubang tutup lubang untuk menjalankan keberlangsungan hidupnya.  Hal ini tentu saja membuat sekolah menjadi tidak sehat. 

Dan itulah kenyataannya.  namun begitu pada tulisan saya ini bukan hendak fokus pada hal tersebut tetapi akan fokus pada upaya pihak sekolah untuk menolong sekolah agar terus dapat beroperasional sekaligus menolong siswanya agar tidak menganggur.  Ibarat pepatah sekali mendayung 2 atau 3 pulau terlampaui.

Rata-rata siswa lulus SMK saat ini usianya kurang dari 18 tahun.  Itu artinya belum dapat diterima kerja di dunia industri atau sektor formal lainnya karena belum memenuhi batas minimal usia kerja.  Bagi yang sudah mencapai usia tersebut, biasanya sekolah memfasilitasi dengan job fair.