Scroll untuk baca artikel
Blog

Sosok Damardjati Supadjar di Mata Mahasiswanya

Redaksi
×

Sosok Damardjati Supadjar di Mata Mahasiswanya

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Prof. Dr. Damardjati Supadjar merupakan guru besar di Universitas Gadjah Mada, ahli Filsafat Jawa, serta budayawan. Ia juga merupakan peletak dasar Filsafat Jawa yang berkembang hingga sekarang.

Sebagai bentuk pengabdiannya terhadap umat manusia, Damardjati setia menulis hingga akhir hayatnya. Buku yang ia tulis antara lain Filsafat Ketuhanan Menurut Alfred North Whithead, Mawas Diri, Nawangsari, serta Sumurupa Byare.

Bagi salah satu mantan muridnya, Ir. Rofandi Hartanto, sosok Damardjati Supadjar dosen yang luar biasa karena memiliki pemikiran yang begitu reflektif. Maksudnya ialah ketika konsep filsafat dituangkan dalam sebuah gagasan filsafati, operasionalnya dalam tingkat pemikiran bukan hanya dapat dicerna oleh kalangan ahli, tetapi juga oleh kaum awam.

Damardjati dikenal memiliki gagasannya yang segar. Rofandi memberikan contoh, jika dosen filsafatnya tersebut dapat menguraikan bahkan pada kalangan yang jauh dari pemikiran filsafati.

“Gagasan yang disampaikan melalui memang mungkin maksud tujuannya belum tersentuh, tetapi bagi yang awam dapat memahami fenomena yang beliau sampaikan,” kata Rofandi.

Sebagai seorang murid yang memiliki hubungan dekat, Rofandi mengisahkan jika dalam beberapa kali pertemuan ceramah, Damardjati menyampaikan orang yang dalam posisi sujud tidak mungkin tidur karena darah mengalir ke otak

Suatu kali, Rofandi menyanggah pendapat tersebut karena ia sempat tertidur saat dalam posisi sujud. Terkadang lama kemudian dilanjutkan tahiyat. Dalam pertemuan selanjutnya, Damardjati merevisi pernyataannya. Ia sampaikan jika khusyuk, orang dapat tertidur kala sujud.

Rofandi mengenang kala Damardjati sedang menyusun disertasinya, ia dan kawan-kawannya sering diajak berdiskusi.

“Kalau tidak salah tentang Filsafat Proses Alfed Nort Whitehead, kita sering diajak diskusi tentang buku PD Ouspensky berjudul Tertium Organum yaitu sebuah cara berpikir yang melampaui cara berpikir Aristoteles dengan Organon-nya dan juga Francias Bacon dalam metode ilmiah melalui buku Novum Organum-nya,” tutur Rofandi.

Ia mengatakan jika Damardjati amat menyukai anak muda yang suka menulis. Salah satu kawan Rofandi bernama Giyono sering menulis di salah satu koran saat itu. Hasil tulisannya dikirimkan ke Pak Damar, kadang dititip melalui Rofandi.

“Ketika mas Giyono ini meninggal, sudah tidak ada tulisannya yang dikirim ke beliau. Beberapa kali saya beri tulisan saya di koran yang sama. Komentar beliau, lumayan ini, bisa mengganti kerinduan,” kenang Rofandi.

Pada 17 Februari 2014, di usianya yang ke 73 tahun, Damardjati meninggalkan dunia untuk selamanya. Sehari sebelumnya, berkat informasi dari putri Damar, Norma jika dosennya sedang sakit parah di sebuah dusun bernama Serenan. Diliputi ikatan yang kuat, Rofandi pun bergegas menjenguk.

“Waktu saya jenguk itu sore hari. Kemudian besok sorenya beliau wafat,”

Kawan-kawan Rofandi pun melontarkan guyonan karena selisih satu hari setelah dijenguk, dosennya itu meninggal dunia. Katanya, tinggal menunggu muridnya. Wallahu a’lam.

Rofandi menilai jika Damardjati Supadjar dengan kapasitas beliau sebagai dosen dan pengajar layak dianggap sebagai filsuf.