Hal itu disebabkan karena kolonialisasi waktu itu menilai Sosrokartono sebagai sosok yang membahayakan bagi penjajah. Sosrokartono mereka yakini turut membesarkan organisasi Budi Utomo, untuk melawan penindasan kolonial. Pada gilirannya, upaya-upaya kolonial untuk menyerimpung kaki Sosrokartono kerap dilancarkan lewat fitnah-fitnah dan tudingan tak berdasar.
Karya Sastra dan Spiritualitasnya
Pendalaman Sosrokartono tentang sastra tecermin dari karya-karyanya. Ada dimensi spiritualitas yang teguh selalu terbenam dalam suluk Jawa bikinannya. Bahkan, batu nisan Sosrokartono diukir dengan petilan kalimat dalam satu karyanya yang mahsyur, berbunyi “Sugih Tanpo Bondo”.
Sugih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tepi ajrih
Langgeng tan ana susah tan ana bungah
Anteng manteng sugeng jeneng
makna ringkas suluk lirik tersebut
[Sugih tanpo bondo] Kaya tanpa harta, Memberikan makna kehidupan bahwa ukuran kekayaan bukan dari harta, tapi luhurnya diri kepada semesta.
[Digdoyo tanpo aji] Kesaktian tanpa ajian, karena yang maha agung hanya Allah ta’ala yang senantiasa melindungi hambanya yang taat.
[Nglurug tanpo bolo] Berperang tanpa teman, sebuah independensi keteguhan iman yang luar biasa, karena imanensi tinggi kepada Tuhan yang maha agung.
[Menang tanpo ngasorake] menang tanpa merendahkan, kemenangan hakiki adalah dengan tidak merendahkan lawan.
[Trimah mawi pasrah] yaitu menerima dengan pasrah, menerima segala apa yang terjadi dan dimiliki dalh keabadian tulusnya diri.
[Suwung pamrih tepi ajrih] menjalankan segala kewajiban sabagai hamba yang beriman dan keberanian diri dalam memperjuangkan syariat.
[Langgeng tan ana susah tan ana bungah] tetap selalu tenang dan tawaduk entah dalam suka maupun duka.
[Anteng manteng sugeng jeneng] tumakninah dalam diri yang selalu menitik fokuskan ketenangan diri dan kebenaran maka hidupnya akan selamat dan Sentosa. []