Terminologi post truth yang ditandai dengan perilaku truthiness, mirip dengan istilah hipokrit atau hipokrisi dalam bahasa Yunani (hypokrisis), yang artinya “cemburu”, “berpura-pura”, atau “pengecut”. Dalam bahasa Indonesia, sering disebut sebagai “kemunafikan”. Yang sebenarnya diadopsi dari Bahasa Arab. Dalam khasanah Islam, terminologi tersebut merujuk pada orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, tetapi sebenarnya hati mereka memungkirinya.
Perihal orang-orang munafiq menarik perhatian ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan terdapat 37 ayat Al-Qur’an yang membahas ciri-ciri orang-orang munafik. Pun demikian Hadist Nabi Muhammad SAW. Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW Riwayat Bukhari dan Muslim yang dengan gamblang menyebut 3 ciri atau tanda orang-orang munafik. Yakni: (1) jika berbicara berdusta, (2) jika berjanji mengingkari, dan (3) jika diberi amanah mengkhianati. Mengingat dampak negatifnya sangat eksplosif dan destruktif, maka Allah SWT mengancam orang-orang munafik dengan menempatkannya di kerak api neraka. (QS: An-Nisa: 145).
Dai atau daiyah diperintahkan Allah SWT untuk menjadi juru penerang atau obor yang harus mampu menyuarakan kebenaran dan penegasan antara yang hak dan batil. Pada saat bersamaan tidak boleh ikut terlibat dan apalagi menjadi juru bicara dalam pengaburan antara kebenaran dengan kebatilan (talbis al haq wa al bathil), atau ikut dalam menyembunyikan kebenaran dan ilmu (kitman al haq). Sebaliknya Al-Qur’an melarang menyembunyikan kebenaran dan kesaksian (QS Al-Baqarah: 42), padahal kamu mengetahui (nya). (QS Al-Baqarah: 146), dan masih banyak ayat Al-Qur’an maupun hadist Nabi lainnya.
Dari Politik ke non Politik
Dengan tetap mempertimbangkan kontroversi narasi truthiness, hipokrit atau munafik, terlebih jika dikaitkan dengan politik karena ada banyak kalangan beranggapan sulit melepaskan antara ketulusan dan kebenaran dengan hipokrisi—sehingga David Runciman dalam “Political Hypocrisy, The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond” (2008) untuk keluar dari kerumitan tersebut lebih suka mengajak kita dapat menghadapinya tanpa tergelincir ke dalam kemunafikan diri kita sendiri.
Pastinya perilaku negatif tersebut tidak mengenal jenis kelamin dan status sosial karena bisa dilakukan oleh kalangan pejabat maupun rakyat jelata, serta dapat terjadi di intansi apapun: bisa pemerintahan, swasta, hatta organisasi keagamaan. Bahwa kalangan pejabat publik yang terindikasi hipokrit, paling banyak mendapat sorotan tajam masyarakat. Bahkan jejak digital kemunafikannya acapkali direkam dan diviralkan, hal tersebut mudah dipahami. Oleh karena itu, seyogianya pejabat publik menjadi contoh nyata terkait integritas pribadi. Bukan malah menunjukkan disintegritas pribadi dengan sering melakukan kebohongan publik.