Scroll untuk baca artikel
Blog

Tantangan Dakwah di Era Post Truth

Redaksi
×

Tantangan Dakwah di Era Post Truth

Sebarkan artikel ini

Dai atau daiyah diperintahkan Allah SWT untuk menjadi juru penerang atau obor yang harus mampu menyuarakan kebenaran dan penegasan antara yang hak dan batil. Pada saat bersamaan tidak boleh ikut terlibat dan apalagi menjadi juru bicara dalam pengaburan antara kebenaran dengan kebatilan (talbis al haq wa al bathil),  atau ikut dalam menyembunyikan kebenaran dan ilmu (kitman al haq). Sebaliknya Al-Qur’an melarang menyembunyikan kebenaran dan kesaksian (QS Al-Baqarah: 42), padahal kamu mengetahui (nya). (QS Al-Baqarah: 146),  dan masih banyak ayat Al-Qur’an maupun hadist Nabi lainnya.

Dari Politik ke non Politik

Dengan tetap mempertimbangkan kontroversi narasi truthiness, hipokrit atau munafik, terlebih jika dikaitkan dengan politik karena ada banyak kalangan beranggapan sulit melepaskan antara ketulusan dan kebenaran dengan hipokrisi—sehingga David Runciman dalam “Political Hypocrisy, The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond” (2008) untuk keluar dari kerumitan tersebut lebih suka mengajak kita dapat menghadapinya tanpa tergelincir ke dalam kemunafikan diri kita sendiri.

Pastinya perilaku negatif tersebut tidak mengenal jenis kelamin dan status sosial karena bisa dilakukan oleh kalangan pejabat maupun rakyat jelata, serta dapat terjadi di intansi apapun: bisa pemerintahan, swasta, hatta organisasi keagamaan.  Bahwa kalangan pejabat publik yang terindikasi hipokrit,  paling banyak mendapat sorotan tajam masyarakat.  Bahkan jejak digital kemunafikannya  acapkali direkam dan diviralkan, hal tersebut mudah dipahami. Oleh karena itu, seyogianya pejabat publik menjadi contoh nyata terkait integritas pribadi. Bukan malah menunjukkan  disintegritas pribadi dengan sering melakukan kebohongan publik.

Dalam kasus politik, yang terkenal antara lain skandal calon Presiden Donald Trump dari Partai Demokrat yang mencalonkan diri sebagai Presiden AS di Pemilu Presiden 2016. Trump  ditengarai melakukan truthiness  a dengan cara membombardir lawan politiknya dengan berita bohong (fake news) secara sengaja untuk menipu orang, serta politik identitas yang streotif dan destruktif.  Ironisnya dengan trik dan manuver strategi komunikasi atau media tersebut tersebut, Trump berhasil mengalahkan pesaingnya Hillary Clinton, yang lebih dikenal publik jauh kesan mempraktikkan hipokrisi politik.

Di Filipina, Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr (anak mantan Presiden Marcos Sr),  menang telak dalam Pemilu menggantikan Presiden Rodrigo Duterte karena menggunakan truthiness dalam strategi kampanye.    Caranya dengan memanfaatkan Media Sosial  (Medsos) untuk melakukan fabrikasi dan manipulasi sejarah masa lalu Marcos Sr dari diktator dan penuh dengan korupsi disulap menjadi pemimpin yang demokratis dan bersih. Dengan strategi tersebut, pemilih Pemilu Filipina khsusunya kalangan mudanya, yang menurut Data Reportal terdapat 92,05 juta pengguna Medsos per Januari 2022 atau 82,4 persen dari keseluruhan populasi pemilih, akhirnya terbius dan memilih Bongbong hingga yang bersangkutan terpilih menjadi Presiden Filipina.

Di Indonesia berbagai spekulasi maraknya era post truth juga menjadi perbincangan hangat. Rieke Elvira dan Eriyanto misalnya dalam “Post-Truth and Religious Sentiment that Change the Political Landscape and Its Outcome in 2017 Jakarta Gubernatorial Election, FISIP Universitas Indonesia (2017) menyimpulkan, strategi post-truth telah dilakukan oposisi terhadap Ahok dengan berbagai “fake news”, fitnah, sentimen agama, hoaks dan sebagainya untuk menjatuhkan Ahok.