Dalam kasus politik, yang terkenal antara lain skandal calon Presiden Donald Trump dari Partai Demokrat yang mencalonkan diri sebagai Presiden AS di Pemilu Presiden 2016. Trump ditengarai melakukan truthiness a dengan cara membombardir lawan politiknya dengan berita bohong (fake news) secara sengaja untuk menipu orang, serta politik identitas yang streotif dan destruktif. Ironisnya dengan trik dan manuver strategi komunikasi atau media tersebut tersebut, Trump berhasil mengalahkan pesaingnya Hillary Clinton, yang lebih dikenal publik jauh kesan mempraktikkan hipokrisi politik.
Di Filipina, Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr (anak mantan Presiden Marcos Sr), menang telak dalam Pemilu menggantikan Presiden Rodrigo Duterte karena menggunakan truthiness dalam strategi kampanye. Caranya dengan memanfaatkan Media Sosial (Medsos) untuk melakukan fabrikasi dan manipulasi sejarah masa lalu Marcos Sr dari diktator dan penuh dengan korupsi disulap menjadi pemimpin yang demokratis dan bersih. Dengan strategi tersebut, pemilih Pemilu Filipina khsusunya kalangan mudanya, yang menurut Data Reportal terdapat 92,05 juta pengguna Medsos per Januari 2022 atau 82,4 persen dari keseluruhan populasi pemilih, akhirnya terbius dan memilih Bongbong hingga yang bersangkutan terpilih menjadi Presiden Filipina.
Di Indonesia berbagai spekulasi maraknya era post truth juga menjadi perbincangan hangat. Rieke Elvira dan Eriyanto misalnya dalam “Post-Truth and Religious Sentiment that Change the Political Landscape and Its Outcome in 2017 Jakarta Gubernatorial Election, FISIP Universitas Indonesia (2017) menyimpulkan, strategi post-truth telah dilakukan oposisi terhadap Ahok dengan berbagai “fake news”, fitnah, sentimen agama, hoaks dan sebagainya untuk menjatuhkan Ahok.
Sayangnya, seperti dikritisi Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle, riset Rieke Elvira dan Eriyanto berbeda dengan investigasi media terbesar Eropa: “The Guardian” dalam “’I felt disgusted’: Inside Indonesia’s Fake Twitter Account Factories”, Juli 2018, yang mengungkapkan pengakuan tim Medsos Ahok yang berbulan-bulan memproduksi fitnah, hoaks dan berbagai “fake news” dengan bayaran yang mahal.
Berakhirnya Pilkada DKI 2017, alih-alih fenomena dan realitastruthiness menurun, malah menunjukkan trend atau kurva kenaikan. Hingga menjelang Pemilu Serentak 2019, fenomena yang sesungguhnya bertentangan etika dan moralitas, justeru terus berkembang dengan mendompleng kemajuan teknologi digital. Yakni maraknya ujaran kebencian dan hoaks dengan memanfaatkan media online, multi media khususnya Medsos. Dalam catatan Kementerian Kominfo, selama Agustus-Desember 2018 terdapat 62 konten hoaks terkait Pemilu Serentak 2019.