Sayangnya, seperti dikritisi Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle, riset Rieke Elvira dan Eriyanto berbeda dengan investigasi media terbesar Eropa: “The Guardian” dalam “’I felt disgusted’: Inside Indonesia’s Fake Twitter Account Factories”, Juli 2018, yang mengungkapkan pengakuan tim Medsos Ahok yang berbulan-bulan memproduksi fitnah, hoaks dan berbagai “fake news” dengan bayaran yang mahal.
Berakhirnya Pilkada DKI 2017, alih-alih fenomena dan realitastruthiness menurun, malah menunjukkan trend atau kurva kenaikan. Hingga menjelang Pemilu Serentak 2019, fenomena yang sesungguhnya bertentangan etika dan moralitas, justeru terus berkembang dengan mendompleng kemajuan teknologi digital. Yakni maraknya ujaran kebencian dan hoaks dengan memanfaatkan media online, multi media khususnya Medsos. Dalam catatan Kementerian Kominfo, selama Agustus-Desember 2018 terdapat 62 konten hoaks terkait Pemilu Serentak 2019.
Fenomena semacam ini tidak boleh terus dibiarkan. Sebab sebagaimana dikritisi oleh Gianluigi Guido, P. Harris, dan L. Piper dalam artikelnya bertajuk “Political Disengagement And Political Hypocrisy: A Hidden Connection?”, aktor politik harus mempertimbangkan perbedaan antara nilai-nilai yang mereka buat secara publik dan didukung nilai-nilai etika dan moral mereka yang efektif. Sebab persepsi kemunafikan politik dapat menghasilkan citra politik yang negatif dan. Karena akan memiliki pengaruh yang mengecilkan hati pada keterlibatan politik.
Etika Komunikasi Qur’ani
Menghadapi berbagai tantangan dakwah di era post truth, disarankan melakukan hal-hal sebagai berikut: pertama, para dai/daiyah harus mampu menjadi contoh atau suri tauladan yang baik (uswatun hasanah atau best exemplar) atau menjadi pribadi yang memiliki kualitas personalitas yang berintegritas. Yakni: satunya kata dengan perbuatan. Karena akan menjadi ironi dan anomali, manakala seorang dai menyeru agar orang mempunyai sifat dan perilaku terpadu antara kata dengan perbuatan, sementara yang bersangkutan (komunikator) berlaku hipokorit atau munafik.
Kedua, juru dakwah mampu menerapkan etika komuniksi berbasis Al-Qur’an. Seperti qaulan sadidan (kata bijak atau kata benar), qaulan ma’rufan (kata baik dan tepat), qaulan balighan (kata jelas atau sampai), qaulan maysuran (kata mudah atau ringan), qaulan layyinan (luwes atau lemah lembut) dan qaulan kariman (kata jujur atau mulia). Dalam implementasinya harus dilakukan secara tepat dan kontekstual dengan dibarengi kemampuan menyampaikan narasi dakwah atau nasihat yang berkualitas (mauidzatul hasanah).
Ketiga, memiliki kemampuan berkomunikasi, berdiskusi dan berdebat dengan narasi yang jelas, komunikatif dan efektif, serta argumentasi yang lebih berkualitas (mujadalah bil ahsan), serta didukung fakta empirik dan data yang valid serta dapat diverifikasi kebenarannya. Hal ini sangat penting, karena orang-orang hipokrit atau munafik terkadang mengabaikan fakta empirik dan lebih banyak bermodalkan nekad. Yang penting dengan ucapannya tersebut bisa menjadikannya lebih popular sekalipun menyesatkan audien atau komunikannya.
Literasi Digital dan Politik Dakwah
Oleh karena truthiness, hipokrit atau munafik terutama yang berasal dari kalangan orang-orang berpengaruh terkadang ‘dilindungi’ oleh suatu peraturan perundungan, maka juru dakwah harus melek peraturan perundangan. Antara lain UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan sejenisnya. Tujaunnya agar tidak mudah terkena proses hukum akibat pesan dakwah yang disampaikannya.