Pemilih pragmatis ini berpotensi bisa dimanfaatkan oleh calon ataupun tim pemenangan untuk mengeruk pundi-pundi suara dengan iming-iming berupa uang.
Kedua adalah polarisasi politik. Polarisasi bisa saja terjadi karena fanatisme yang berlebihan dalam politik. Mereka cenderung pada pemilih yang emosional dari pada rasional.
Dampak negatif dari polarisasi politik adalah meningkatnya konflik sosial, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta terhambatnya pembangunan. Tentu ini kontra produktif dengan tujuan dari Pilkada.
Pilkada harusnya dimaknai sebagai siklus 5 lima tahunan untuk memilih kepala daerah dan disambut dengan positif dan riang gembira.
Dalam politik tidak ada yang mutlak benar dan salah absolut. Masing-masing pihak bisa benar bisa salah.
Politik tidak hitam putih dengan membagi pihak kawan pasti benar dan pihak lawan pasti salah. Fanatisme berlebihan dalam politik bisa menyebabkan konflik dalam masyarakat. []