Target aset perbankan dalam RPJMN 2025–2029 tak sekadar ambisius—ia menguji nyali seluruh pelaku industri keuangan nasional.
Oleh: Beta Wijaya
(Bankir Muda)
DALAM Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, sektor perbankan dihadapkan pada tantangan besar, yaitu memenuhi target aset perbankan yang sangat ambisius.
Pemerintah menargetkan total aset perbankan pada 2025 mencapai 66,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan meningkat menjadi 77,2% pada 2029.
Target ini tentu tidak mudah, mengingat rasio aset perbankan terhadap PDB pada 2024 tercatat sebesar 56,06%. Artinya, sektor perbankan harus mengejar kenaikan lebih dari 21% dalam lima tahun ke depan, dan menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi dalam periode lima tahunan sebelumnya.
Performa secara histori yang cenderung stagnan, selama lima tahun terakhir, pertumbuhan aset perbankan terhadap PDB bergerak stagnan.
Berikut datanya, pada 2020 sebesar 59,43%, 2021 sebesar 59,57%, 2022 sebesar 56,73%, 2023 sebesar 56,32%, dan pada 2024 sebesar 56,06%. Rata-rata rasio aset terhadap PDB selama periode ini hanya sekitar 57,62%, jauh di bawah target akhir RPJMN 2029.
Data ini menunjukkan bahwa untuk mencapai target tersebut, perbankan harus bertransformasi secara signifikan.
Pertumbuhan DPK dan kredit masih lemah. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga belum menunjukkan sinyal penguatan yang solid.
Selama tiga tahun terakhir, angka pertumbuhannya sebagai berikut pada 2022 sebesar 9,01% (YoY), 2023 sebesar 3,73% (YoY), dan 2024: 4,48% (YoY). Sementara itu, penyaluran kredit masih stagnan di kisaran 10%, dengan rincian: 2021 sebesar 11,35% (YoY), 2023 sebesar 10,38% (YoY), dan 2024 sebesar 10,39% (YoY) Kondisi ini menunjukkan perlunya strategi lebih agresif dari otoritas dan pelaku industri untuk mendorong pertumbuhan sektor ini.
Persaingan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Kredit : Tidak Hanya Antarbank
Kini, persaingan menghimpun DPK tidak hanya terjadi antar bank, tetapi juga dengan pemerintah. Pemerintah semakin aktif menawarkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan proyek dan pembayaran utang jatuh tempo.
Untuk menarik investor, yield SBN ditetapkan lebih tinggi dari BI Rate, menjadikannya pilihan menarik dibandingkan simpanan perbankan.
Bank Indonesia (BI) pun turut ambil bagian, membeli SBN senilai Rp1.618,01 triliun atau 26,79% dari total lelang.
Meski BI membeli tanpa yield, SBN tersebut kemudian disekuritisasi menjadi SRBI (Sekuritisasi Rupiah BI), yang memiliki imbal hasil lebih tinggi dari SBN biasa. Hal ini tentu memperberat langkah bank dalam memperoleh likuiditas dengan beban imbal hasil yang rendah.
Selanjutnya, kredit tertahan dan risiko kredit macet meningkat menjadi tantangan tak kalah kompleks. Fenomena lemahnya daya beli masyarakat membuat sektor usaha baik mikro maupun korporasi menyebabkan sektor riil tidak berjalan lancar, sehingga membuat perbankan menghadapi risiko kredit macet yang tinggi. Hal ini membuat perbankan bersikap hati-hati dalam menyalurkan pembiayaan baru.