Temu penyair lima kota (Brebes, Slawi, Tegal, Pemalang dan Pekalongan). Pertanyaannya, apakah puisi sekadar dibacakan dan dibedah.
PARA penyair Jawa Tengah berkumpul pada Temu Penyair Lima Kota. Brebes, Slawi, Tegal, Pemalang, Pekalongan. Acara itu berlangsung pada Pekan Seni Awal Tahun, di Transmart Kota Tegal.
Pekan Seni yang diselenggarakan Komunitas Seni Tegal dibuka oleh Walikota Tegal, Dedy Yon, 26 Januari baru lalu, dan berlangsung hingga 30 Januari 2022.
Komite Sastra Dewan Kesenian Tegal, Senksong Jaladara menjelaskan, temu penyair itu sesungguhnya kelanjutan dari kegiatan penyair lima kota. Pertemuan rutin diselenggarakan sebulan sekali, dengan kegiatan sastra dan pembahasan karya.
Digelar bergilir kota atau tempat, dengan penampil dan pembahas yang tengah dibicarakan atau menjadi isyu di kalangan sastrawan lima kota tersebut.
Sebelumnya, diadakan acara “Membaca Rendra”, di kampus Universitas Pancasakti (UPS) Tegal. Para penampil antaralain Dyah Setiawati, Apito Lahire, Atmo Tan Sidik. Tentu dengan perhatian prokes dan publik yang dibatasi.
Pertanyaannya, apakah puisi sekadar dibacakan dan dibedah. Terlebih dengan pertanyaan mendasar, mengapa puisi (atau karya sastra) mesti dibedah atau katakanlah dikritik. Bukankan karya puisi mesti dibaca, bukan dikritik.
Mungkinkah itu sebabnya, karya sastra banyak ditinggalkan masyarakat. Sebabnya, karya sastra, khususnya puisi, tampaknya ditulis tidak bagi masyarakat tapi untuk kritikus. Itu tampak dari bahasa sastra, terlebih puisi, yang makin meninggi dan menjauh dari apresiasi masyarakat. Tak lain dan tak bukan guna dibedah oleh kritikus.
Pun konflik atau perdebatan sastra lebih berlangsung di antara sastrawannya sendiri. Misalnya konflik Lekra kontra Manikebu di seputar 1965. Kemudian Perdebatan Sastra Kontekstual versus Sastra Universal pada 1970-an. Masyarakat tidak tahu menahu mengenai konflik atau perdebatan yang bersifat elitis itu.
Itulah sebabnya, barangkali, Temu Penyair di Tegal itu, dimaksudkan untuk mendekatkan sastra kepada masyarakat umum. Pada pengunjung pasar modern bernama Transmart.
Di kali lain mungkin digelar di pasar rakyat/tradisional, atau barangkali di kampung-kampung. Tentu dengan puisi berbahasa sederhana yang dekat-dekat dengan masyarakat umum.
Bukankan jaringan penyair lima kota itu bernama: Blakasuta.
Ingat seperti yang pernah dikatakan penyair Afrizal Malna: menulis sajak rumit itu mudah, justru menulis puisi sederhana itu yang sulit. [Luk]