Lantas, Yudi Latif kerap menyitir ungkapan Bung Karno bahwa besar kecilnya suatu bangsa bukan seberapa luas wilayah dan seberapa banyak jumlah penduduk, melainkan tekad yang terpancar dari karakter warga negara.
Maka, penting adanya pengembangan mental-spiritual sebagai karakter bangsa, sebagai tata nilai. Software bangsa yang berketuhanan, bangsa yang berperikemanusiaan, dan bangsa yang menjunjung persatuan dan keragaman segenap tanah-air dan anak bangsa.
Dengan demikian, sebagai turunannya—saya tangkap dari ulasan di setiap webinar Kang Yudi—mental karakter yang dikehendaki leluhur bangsa ini tak lain tidak bukan adalah kemandirian, gotong royong, dan pelayanan atau pengorbanan. “Kemandirian” mengandaikan adanya kekuatan batin seseorang atau kelompok yang tidak akan terperangkap pada mentalitas konformis, dan mentalitas totalitarian.
“Gotong royong” mengasumsikan bahwa kebersamaan itu ibarat setiap huruf dari A sampai Z yang masing-masing sebagai satu karakter yang sama-sama penting untuk menyusun kata dan kalimat. Tidak ada yang dilebihkan, dan tidak bisa dikurangi.
Bersama menuntaskan tujuan. Kemudian, “pelayanan” adalah ujung dari kemandirian dan gotong royong, yang bersemangat rela berkorban, profesional, amanah, dan sebagainya.
Berkaitan dengan tata sejahtera, Kang Yudi menandaskan bahwa manusia adalah roh yang menjasmani. Sang pribadi yang memerlukan papan, sandang, pangan. Sehingga klop dengan rumusan sila kelima, bahwasanya muara akhir dari pembangunan negeri ini adalah tatanan masyarakat berkemakmuran yang berkeadilan.
Sebuah wilayah yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Lebih jauh, Kang Yudi menyitir pernyataan Sutan Sjahrir, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan.”
Lantas soal tata kelola yang diidamkan leluhur, yaitu sistem negara kekeluargaan. Sebuah demokrasi yang menekankan konsensus yang bersemangat kekeluargaan. Sebuah tatanan yang menempatkan esensi demokrasi bukan pada voting, atau pengelompokan kepentingan, melainkan pada musyawarah kolektif, dan pengambilan keputusan yang terbuka.
Demikianlah “agama sipil” Pancasila. Dan dari ketiga cakupan transformasi Pancasila itu, tetap mensyaratkan adanya basis kecerdasan di semua lini. Dalam konteks riil dan sederhana, gerakan pencerdasan itu saya pahami sebagai upaya peningkatan daya baca, dan daya menulis. Ranah mental-kultural atau kepribadian (karakter) akan bersinar terang sekira berlandas pada kekuatan literasi.