Bagi Indonesia, kebijakan tarif Trump menimbulkan tekanan langsung. Ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai 26,3 miliar dolar AS, menjadikannya pasar ekspor terbesar kedua.
Komoditas utama seperti mesin/peralatan elektrik, pakaian rajutan, alas kaki, hingga pakaian non-rajutan menjadi sektor paling rentan terhadap tarif baru tersebut.
“Memang bagi AS, ekspor Indonesia hanya satu persen dari total impornya. Namun bagi Indonesia, ekspor ke AS adalah penopang penting bagi GDP yang sekitar 22 persen disumbang sektor ekspor barang dan jasa,” tutur Syarkawi.
Untuk itu, ia menyarankan empat langkah strategis agar Indonesia tidak terlalu terdampak oleh perang dagang global ini.
Pertama, pendekatan inward-looking dengan mendorong konsumsi domestik dan meningkatkan efisiensi industri manufaktur sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Kedua, mempercepat reformasi tataniaga ekspor dan impor, termasuk menghapus hambatan tarif dan non-tarif yang tidak produktif.
Langkah ketiga adalah outward-looking, yaitu melakukan negosiasi langsung dengan AS agar tarif terhadap produk Indonesia dapat dikurangi.
Syarkawi menilai produk ekspor Indonesia ke AS bersifat komplementer, bukan substitutif, sehingga tidak bersaing langsung dengan industri lokal AS.
“Langkah keempat, diversifikasi pasar ekspor ke Uni Eropa dan Timur Tengah. Saat ini, ekspor Indonesia ke dua kawasan ini masih kecil, padahal potensinya besar untuk produk elektronik dan tekstil,” tambahnya.
Syarkawi juga mencermati bahwa meski Trump terlihat keras terhadap China dan negara lain, ia mulai membuka negosiasi dengan Jepang dan Korea Selatan untuk menyeimbangkan dampak retaliasi. Ini menjadi peluang yang bisa ditiru Indonesia dengan pendekatan negosiasi pragmatis.
“Meskipun retorika Trump keras, kebijakannya tetap bermuara pada satu tujuan: mengurangi defisit perdagangan dan memperkuat basis ekonomi AS. Maka, diplomasi ekonomi Indonesia harus cermat membaca arah angin dan menyiapkan strategi responsif,” pungkasnya. []