SEPERTI biasanya, usai salat fardlu berjamaah menyempatkan duduk sejenak untuk wiridan. Terus terang saja, saya bukan orang yang gampang tenggelam dalam keheningan dzikir. Masih tergoda dengan suara-suara di sekitar.
Tapi pagi ini sungguh keterlaluan. Ketika sedang membaca Sayyidul Istighfar di Masjid Baitul Iman Depok Maharaja, kegaduhan itu datang. Suara tangisan yang terdengar begitu mengganggu. Memang bukan jerit tangisan. Lebih tepatnya sesenggukan. Tapi jika datangnya dari seluruh penjuru masjid, apa tidak mengganggu?
Sejenak mengedarkan pandangan. Tidak mungkin kalau suara sesenggukan itu berasal dari beberapa jamaah yang juga masih tinggal. Mereka tampak khusyuk berdzikir.
Saya tersentak kaget ketika menyadari dari mana suara tangisan itu berasal. Ubin-ubin di masjid ini ternyata yang sedang menangis. Tidak semuanya. Hanya ubin-ubin yang ada stikernya saja.
Stiker memang sengaja kami tempel secara berselang-seling pada ubin granit ukuran 60×120 di masjid sebagai penanda agar jamaah mengambil jarak satu dengan yang lain. Jamaah hanya menempati shaf shalat di ubin tanpa stiker. Di masa pandemi seperti saat ini memang susah mendapat kesempurnaan shalat berjamaah dengan merapatkan shaf.
Tapi mengapa ubin-ubin berstiker itu menangis? Setelah berhasil mengatasi keterkejutan, saya mulai menenangkan ubin-ubin itu. Rupanya, selama ini ubin-ubin berstiker itu sering di-bully oleh ubin-ubin tanpa stiker.
“Buat apa kalian berada di masjid tapi tidak dipakai untuk shalat?”
Begitu ejekan yang sering dilontarkan ubin-ubin tanpa stiker. Memang keterlaluan juga mereka. Saya tak menyangka kalau ubin-ubin yang kami gunakan untuk menunaikan shalat berjamaah itu tega melakukan perundungan pada temannya. Membuat ubin-ubin berstiker bersedih hingga menangis.
Tapi saya lebih tidak menyangka jika memasang stiker telah melukai perasaan ubin-ubin itu. Jangan-jangan menurut mereka kami sudah berperilaku tak berperikeubinan. Pantas saja ubin-ubin berstiker itu menuntut agar stiker dipergilirkan. Seminggu sekali digeser agar semua ubin merasakan dipakai untuk shalat berjamaah. Wah, kebayang betapa repotnya jika harus memenuhi tuntutan itu.
Saya bujuk ubin-ubin berstiker dengan mengatakan banyak ubin lain yang juga tidak dipakai bersujud shalat fardlu. Ubin-ubin di rumah saya misalnya, juga sangat jarang. Hanya kemarin ketika saat kami terpaksa shalat fardlu di rumah saja sering dipakai. Selebihnya hanya untuk shalat sunat seperti tahajud. Itupun kadang lewat, terbangun ketika adzan Subuh sudah berkumandang.
Niat saya ingin menghibur ubin-ubin berstiker yang lagi bersedih itu. Tetapi respons mereka tak terduga. Ramai-ramai mereka menyergah dengan suara yang meninggi.
“Masih beruntung ubin-ubin di rumahmu. Asal tidak kamu perlakukan bagai tanah kuburan mereka sudah senang.”
Et dah… Ubin-ubin ini berani nyindir juga. Jangan-jangan mereka memang tahu jika saya belum bisa konsisten berlama-lama membaca Al-Qur’an di rumah. Tak jarang satu juz harus dicicil berhari-hari.
“Kami beda!” ubin-ubin itu menegaskan.
“Kami adalah ubin-ubin di masjid yang sudah selayaknya dipakai untuk menunaikan shalat”
Bagaimanapun akan susah untuk memenuhi tuntutan menggilir letak stiker. Meskipun demikian ubin-ubin tanpa stiker saya kasih peringatan keras. Jika saya dengar masih melakukan bullying kepada ubin berstiker maka letak stiker akan kami geser.
Susah payah saya jelaskan mengapa shaf kami perlu berjarak. Menjaga jarak merupakan upaya untuk mengendalikan pendemi Covid-19 ini. Saya yakinkan mereka, baik ubin yang kami tempel stiker maupun tidak, punya peran penting masing-masing untuk mendukungnya. Jika saat ini memaksakan shaf tak berjarak bisa-bisa malah kami harus menutup masjid kembali.