Barisan.co – Masyarakat Jawa memiliki kekhasan tersendiri dalam laku budayanya berupa seni tradisi. Sebelum Islam datang, masyarakat jawa laku hidupnya penuh dengan laku tradisi. Laku tradisi tersebut seperti menggemari kesenian musik gamelan, pertunjukan wayang maupun seni tarik suara.
Keberhasilan Walisongo dalam berdakwah meyebarkan agama Islam tidak luput dari siasat gerakan dakwah berbasis kesenian. Kesenian menjadi alat dakwah. Sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga yang menggunakan media seni wayang.
Laku tradisi masyarakat jawa tidak hanya mencintai kesenian. Masyarakat jawa juga memiliki tradisi atau kebiasaan pemujaan terhadap roh leluhur dan memberikan sesajen dalam kehidupannya. Laku hidup tersebut tercermin hubungan tiga dimensi yakni hubungan dengan Tuhan, Manusia, dan Alam.
Kebiasaan tersebut sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Bahkan hingga sampai sekarang tradisi atau kebiasaan tersemu masih dapat ditemui. Masyarakat Jawa masih melakukan tradisi turun-temurun.
Seiring perkembangan masuknya agama Islam, adat kebiasaan atau laku tradisi Masyarakat mulai ada unsur nilai-nilai agama Islam. Jadi agama Islam tidak disebarkan melalui jalur formal, namun juga dilakukan dengan cara memasuki adat kebiasaan masyarakat setempat.
Tradisi, adat kebiasan mayarakat hingga kesenian menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia memiliki peradaban yang agung. Sampai saat inipun tradisi upacara dan kesenian-kesenian tradisi masih bisa disaksikan.
Beragam tradisi dengan nilai-nilai agama Islam, dapat dilihat dalam upacara mauludan, rajaban, sekaten, maupun peringatan malam satu suro atau malam tahun baru Islam. Tradisi masyarakat tersebut merupakan upaya mengingat kembali peristiwa-peristiwaber sejarah yang berkaikan dengan agama Islam
Nguras Kong
Masyarakat Jawa khusunya di daerah Imogiri, Bantul Yogyakarta memiliki upacara tradisi turun temurun. Upcara tradisi tersebut dikenal dengan nama “Nguras Kong.” Selain nama Nguras Kong mayarakat bisa menyebutnya dengan nama lain seperti Nawu Gentong atau Nguras Enceh. Tradisi ini dilaksanakan sebagai upaya mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan agama Islam.
Sultan Agung sendiri merupakan Raja Mataram yang ketiga. Selama pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram Islam mampu menyatukan pulau Jawa dan Madura kecuali Banten dan Jakarta.
Upacara tradisi Nguras Kong di Imogiri Bantul tersebut memiliki beragam unsur-unsur agama. Unsur-unsur tersebut percampuran antara agama Islam, Hindu, Budha dan unsur kepercayaan lain yang ada di masyarakat Jawa.
Nguras Kong merupakan upacara penggantian air di dalam gentong atau tempayan. Istilah gentong atau tempayan bagi masyarakat Imogiri Bantul dan sekitarnya, masyarakat sering menyebutnya dengan nama kong.
Kong bagi masyarakat dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah. Masyarakat meyakni air di dalam Kong memiliki berkah dan manfaat. Sehingga masyarakat senantiasa menjaga dan merawatnya.
Membersihkan diri
Pada upacara Nguras Kong ada empat kong. Kong yang berjumlah empat tersebut dalam sejarahnya diperoleh Sultan Agung dari kerjaan lain sebagai tanda takluk. Sultan Agung memberikan keempat kong tersebut dengan nama-nama berbeda.
Keempat kong tersebut memiliki nama yakni Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand).
Era Sultan Agung kong tersebut masih tersimpan di dalam istana kerajaan sebagai tempat air wudhu keluarga istana. Setelah Sultan Agung wafat lalu keempat kong tersebut diboyong ke makam imogiri yakni tempat dimana raja Sultan Agung dimakamkan.