BARISAN.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat kembali menegaskan ancaman terhadap perempuan. Ancaman Omnibus Law terhadap perempuan juga telah disimpulkan dalam Concluding Observations CEDAW (CEDAW/C/IDN/CO/8) hasil dari tinjauan komitmen Indonesia terhadap implementasi CEDAW yang telah diratifikasi sejak 37 tahun lalu.
Komite CEDAW menekankan ancaman Omnibus Law yang akan memberikan ketidakadilan terhadap penghidupan dan jaminan perlindungan terhadap perempuan. Seperti jaminan perlindungan dalam bekerja serta ruang hidup karena semakin rusaknya lingkungan dan perampasan lahan akibat Omnibus Law.
Secara khusus, Komite CEDAW melihat ancaman terhadap perempuan dari alasan sebagai berikut: Pertama, dalam kaitannya dengan isu ketenagakerjaan, Komite CEDAW mengkhawatirkan efek ketidakadilan implementasi Omnibus Law terhadap penghidupan dan kerja perempuan termasuk di dalamnya perlindungan jaminan uang lembur, perlindungan dari pemutusan hubungan kerja (PHK), dan hak perempuan atas cuti berbayar.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Komite CEDAW mendesak Pemerintah Indonesia sebagai Negara Pihak untuk menjamin perlindungan cuti melahirkan, menstruasi dan menyusui dan memastikan bahwa perempuan akan dilindungi dari lembur tak berbayar meskipun ketentuan lembur dan upah telah diubah dalam UU Cipta Kerja.
Fokus kekhawatiran yang kedua terkait dengan hak perempuan adat dan pedesaan. Komite CEDAW melihat bahwa UU Cipta Kerja berpotensi akan menimbulkan kerusakan lingkungan karena menghilangkan syarat izin berusaha dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sehingga mengancam akses perempuan adat dan pedesaan terhadap lahan.
Maka, Komite CEDAW meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemenuhan perlindungan hak perempuan adat dan pedesaan untuk memanfaatkan lahan dan sumber daya alam termasuk memperluas cakupan Masyarakat Hukum Adat dan mencabut peraturan perundang-undangan yang merusak hak perempuan adat dan pedesaan terhadap pemanfaatan lahan–termasuk UU Cipta Kerja (Concluding Observations Paragraf 46a).
Pada pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat yang dilakukan secara bermakna (meaningful participation) bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Namun Putusan yang dianggap sebagai penyeimbang perlu dipenuhinya syarat formil dengan tujuan strategis dibentuknya UU a quo menunjukkan Mahkamah Konstitusi telah mengabaikan fakta gelombang penolakan UU a quo oleh masyarakat yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk gerakan perempuan.
Alih-alih mengeluarkan Putusan yang tegas dan lurus dengan membatalkan UU a quo, Mahkamah Konstitusi justru memberikan toleransi terhadap pelanggaran konstitusi dengan memberikan waktu perbaikan.
“Raison d’etre (alasan keberadaan) adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, serta percepatan proyek strategis nasional sebagaimana tercantum dalam nomenklatur UU Cipta Kerja. Sehingga dalam 8 bulan UU Cipta Kerja secara serampangan disahkan dengan melanggar prinsip kedaulatan rakyat sebagai pilar utama bernegara sebagai amanat konstitusi. Waktu 2 tahun, tentunya bukanlah hal sulit untuk dilakukan oleh pemerintah untuk tetap mempertahankan UU a quo.” tegas Arieska Kurniawaty, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam keterangan tertulisnya, Ahad (28/11/2021).
Pada konteks implementasi CEDAW pun, General Recommendation No.34 telah menegaskan semangat tiada pembangunan tanpa persetujuan perempuan, khususnya bagi perempuan pedesaan. Perempuan pedesaan harus dianggap sebagai penggerak pembangunan berkelanjutan.