Kedua, dalam situasi kekosongan hukum tentang kampanye di luar jadwal dan keterbatasan parpol dalam melakukan berbagai bentuk pendidikan politik yang dibenarkan oleh UU, seyogianya parpol tidak boleh kehilangan elan vital, kreativitas dan inovasi dalam melakukan program-programnya. Fokus parpol sebaiknya lebih diarahkan kepada konsolidasi internal seperti visi, jati diri, struktural dan wawasan, penyusunan strategi kampanye dan pemenangan Pemilu, persiapan penjaringan bakal calon presiden, gubernur, anggota legislatif dan sebagainya. Selebihnya berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Penyelenggara Pemilu ketika akan melaksanakan kegiatan yang melibatkan konstituen cukup besar, akan lebih memastikan bahwa kegiatannya tidak berbenturan dengan peraturan perundangan.
Ketiga, kasus Zulhas memberikan pelajaran berharga betapi makin variatif dan canggih modus-modus pelanggaran Pemilu. Sekaligus memberikan peringatan (warning) bagi pejabat publik terlebih lagi yang menjadi pimpinan partai politik dan para pendukungnya agar lebih hati-hati dalam menggunakan fasilitas negara. Dengan diviralkannya kasus Zulhas, berpotensi menimbulkan citra buruk. Parpol dan elit politik seyogianya menghindari dari kemungkinan sanksi moral yang dijatuhkan oleh publik.
Keempat, Media Sosial (Medsos) dengan warganetnya kini sudah menjadi mata-mata (spionase) atau ujung tombak pengawasan Pemilu partisipatif yang cukup efektif, selain peran penting OMS. Oleh karena itu, hal ini harus diapresiasi dan ditingkatkan sinergi dan kolaborasinya dengan tetap memperhatikan dan mengikuti peraturan perundangan terkait penanganan pelanggaran Pemilu. Untuk itu literasi Medsos yang dikaitkan untuk kebutuhan peningkatkan pengawasan partipasi publik di Pemilu Serentak 2024 harus dilakukan secara lebih intensif dan massif serta berkualitas, terutama dengan menyasar pemilih milenial yang pada Pemilu kali ini ditaksir jumlahnya. [rif]