BARISAN.CO – Tanda orang bahagia acapkali diperhitungkan dengan nilai materi, seperti harta, pangkat, maupun jabatan. Namun Anda perlu memahami bahwa religius (agama) dan spiritual (spiritual) ada dua konsep yang berbeda. Hal ini dapat digambarkan dalam pertanyaan:
Apakah Anda membenci orang yang tidak beragama? Jika Anda membenci, bisa jadi karena negara kita bukan negara yang menganut paham ateis. Ada pertanyaan lagi, apakah Anda membenci orang yang tidak bertuhan?. Jika iya, bisa jadi karena negara kita berdasarkan ketuhanan maka masyarakatnya harus beragama.
Namun pertanyaan yang sering Anda jumpai adalah, “Apa agama Anda?”. Jika Anda beragama, apakah sudah menjalankan spirit ketuhanan untuk mendapatkan jalan kebahagiaan?.
Jika Anda beragama belum tentu mendapatkan pengalaman spiritual. Anda menjalankan shalat, belum tentu bisa mengamalkan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Shalat anda adalah bentuk religius dan mengamalkan merupakan bentuk spiritualnya. Sehingga jika anda beragama belum tentu dapat melaksanakan prinsip ketuhanan (spiritual).
Untuk mendapatkan kebahagiaan Anda tidak harus bersikap religius, akan tetapi anda harus bisa menjadi orang spiritual. Sebab belum tentu anda yang religius mendapatkan kebahagiaan, namun orang yang mampu mendapatkannya adalah orang yang memiliki spirit spiritual yakni anda mampu memberi makna kehidupan dan orang spiritual mampu untuk tetap bahagia dalam situasi apapun tanpa tergantung pada situasi dan kondisi.
Alangkah indahnya jika kebahagiaan anda terangkai spirit spiritual dan terbungkus oleh spirit religius. Sepatutunya kebahagiaan jadi milik Anda.
Tanda bahagia
Sedangkan kebahagiaan menurut Islam ada beberapa perkara. Seperti bagaimana seorang hamba menerima kenikmatan, ketia ia diberi kenikmatan baik kenikmatan berupa kenikmatan duniawi, ilmu dan akhirat.
Bahagia juga terkait dengan seorang hamba ketika diberikan cobaan maupun musibah. Bagaimana seorang hamba menyikapi hal tersebut, ketika anak sakit ataupun ketika benar-benar tidak memiliki harta.
Tanda orang bahagia sebagai orang beriman tentu dirangkai dengan perbuatan yang sesuai ketentuan kewajiban dan keharamanan. Atau sesuai dengan syariat Allah Swt dan tentunya sesuai sunnah Nabi Muhammad Saw.
Hal yang perlu dipahami yakni kebahagiaan terletak bagaimana hati menyikapi. Sebagai seorang hamba ketika diberi nikmat ataupun bahgia senantiasa mengucap syukur dengan kalimat sederhana yakni alhamdulillah. Ucapkan ini sebagai pengakuan bahwa Anda adalah seorang hamba.
Ibnu Atha’illah as-Sakandari pengarang kitab yang sangat masyhur yakni kitab Al-Hikam mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesedihan merupakan dua etentitas yang tidak bisa dipisahkan. Maksudnya yakni bahwa, sesuatu yang menjadi kebahagiaan adalah sesuatu yang juga disedihkan.
Dua etentitas ini adalah keseimbangan yakni jika kebahagiaan yang banyak maka kesedihanmu nilainya juga banyak. Ibnu Atha’illah as-Sakandari mengatakan dalam maqolahnya:
لِيِقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ يَقِلَّ مَا تَحْزَنُ عَلَيْهِ
“Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih”. (Al-Hikam : hlm 45)
syair :
ومن سره أن لايرى ما يسوؤه * فلا يتخذ شيئا يخاف له فقدا
فإن صلاح المرء يرجع كله * فسادا إذا الإنسان جاز به الحدا
“Barang siapa bahagia jika tidak melihat sesuatu yang membuatnya susah dan sedih, maka janganlah ia mengambilnya jika khawatir kehilangan. Karena sesungguhnya seluruh kepantasan seseorang akan rusak jika melampaui batas”.
Allah Swt berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ