ORANG TUA sebagai pendamping yang baik bagi anak bercirikan dua sikap sekaligus tindakan yang ditunjukkan secara konsisten. Yaitu: berempati kepada anak dan mengapresiasi karya atau kinerja anak. Tentang berempati telah disampaikan pada tulisan bagian terdahulu. Bagian ini membicarakan tentang mengapresiasi anak.
Salah satu arti kata apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu. Pengertian umum cenderung merujuk pada penghargaan terhadap suatu karya. Tunjukan teknisnya seperti pada karya seni, kata apresiasi tidak hanya bermuatan pujian. Kadang berupa catatan, kritik dan saran atas karya atau orang yang berkarya.
Mengapresiasi anak dalam hal tindakan, karya atau kinerja pun demikian. Pesan utama lebih kepada orang tua agar memperhatikan sepenuh hati dan menghargai secara sungguh-sungguh hasil karya atau tindakan anak. Bisa saja dilakukan dengan memberi pujian, teguran ataupun hukuman. Tentu semua mesti dilakukan pada waktu dan dengan porsi yang tepat.
Dengan memposisikan diri sebagai pendamping, maka sikap orang tua cenderung lebih tampak sebagai teman. Ekspresi dari apresiasi pun mesti sesuai dengan itu. Cara dan bentuk apresiasi akan tampak berbeda dengan orang tua yang berposisi di atas anak.
Dikaitkan dengan tulisan-tulisan terdahulu, mengapresiasi berarti menghargai anak sebagai individu atau pribadi sendiri yang utuh. Ketika anak masih kecil atau prasekolah antara lain: memperlakukan sebagai anak yang pintar, menjawab pertanyaannya, sering memujinya, menegur kesalahannya dengan lembut, serta membantunya memperbaiki diri.
Setelah mereka bertambah usia dan mulai bersekolah, beberapa bentuk apresiasi lainnya bisa dikembangkan. Terutama dengan lebih menghargai semua usahanya. Termasuk jika diperlukan, tidak sungkan memuji secara terbuka di hadapan orang lain.
*******
Menghargai untuk keberhasilan dan prestasi yang dicapai bisa dikatakan cukup mudah. Namun, menghargai semua usahanya untuk bidang-bidang yang belum dikuasai atau belum berprestasi justeru sering lebih dibutuhkan. Sekalipun anak kita pintar, dia pasti punya kelemahan.
Contohnya Ira yang kesulitan dalam pelajaran bahasa Jawa. Ketika kelas 1 SD, pertama kali ulangan bahasa Jawa nilainya 2. Dia sedih bahkan sampai izin kepada saya jika pelajaran bahasa Jawa tidak bisa mendapat nilai bagus. Saya besarkan hatinya dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa yang penting sudah berusaha.
Saya juga mengatakan, “Ummi sendiri tidak bisa mengajari, karena tak fasih berbahasa Jawa. Dicatat saja semua yang tidak tahu. Kalau guru membahas soal ulangan, perhatikan kesalahmu, dicatat dan dipelajari jawaban yang benar.”
Ira tampaknya melakukan semua itu. Pada ulangan ke 2 dia mempeoleh nilai 8. Belum termasuk yang tertinggi, namun ada kesempatan untuk memberi apresiasi dengan memuji. Saya katakan, “Alhamdulillah, ternyata Ira bisa mengerti pelajaran bahasa Jawa.”
Hal serupa terjadi juga halnya dengan Adli, yang bersekolah di SD yang sama. Namun, reaksinya berbeda, tidak terlihat sedih seperti kakaknya. Saya pun menyampaikan hal yang sama. Dia memang mencoba belajar, tetapi hasilnya tak sebagus Ira dahulu. Hanya ada sedikit peningkatan nilainya 3, 4, 5 dan tertinggi 6.
Tetapi saya memutuskan untuk tidak memaksanya untuk belajar lebih keras hal yang tak disukai. Dalam beberapa kesempatan saya hanya mengingatkan untuk mencoba lebih baik. Sembari tetap mengatakan bahwa yang penting bukan lah nilai, melainkan telah berusaha sebaik-baiknya.
Sikap tak mementingkan hasil dan lebih menghargai usaha dari kami memiliki dampak positif yang lain. Aya, anak ketiga kami, bercerita dengan nada berterima kasih karena melihat kejadian seorang temannya di SMA. Kawannya itu seperti enggan pulang dari sekolah, takut dimarahi orangtuanya karena nilai tes yang jelek.