Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Tiga)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Tiga)

Sebarkan artikel ini

ORANG TUA berharap anaknya tumbuh kembang dengan berbagai sifat dan sikap yang baik. Mereka ingin anaknya terbiasa bersikap jujur dan tidak mau berbohong. Bisa ditambahkan hal positif lain seperti: tidak curang, tidak mencuri, suka menolong, mau berbagi, menghormati orang lain, dan menepati janji.

Kebanyakan dari hal itu bukan sesuatu yang bisa dimiliki secara instan atau seketika. Anak perlu waktu untuk belajar, berlatih, dan bahkan diuji. Pengajaran paling awal mesti dilakukan di rumah, sejak anak masih kecil. Dan yang penting, orang tua menyadari bahwa belajar yang efektif tidak cukup dengan kata atau nasihat, melainkan dengan contoh.

Kisah Adli soal bersikap jujur

Ketika Adli yang masih berusia 6 tahun lebih masuk SD, ada kisah terkait sikap jujur. Ada buku kegiatan yang harus diisi setiap hari oleh anak dan ditandatangani orang tua. Kolomnya berisi pelaksanaan sholat 5 waktu. Jika dia melaksanakan sholat diberi tanda (V), sebaliknya jika tidak diberi tanda (–). 

Adli jarang tidur siang, sehingga malamnya tidur sebelum jam delapan. Meski sudah diingatkan, sering lupa sholat Isya. Pada hari pertama diwajibkan mengisi buku kegiatan yang ditandainya tidak sholat Isya (–). Berlanjut hingga hari kedua dan ketiga. Pada hari keempat dicatatnya sebagai sholat (V), padahal tidak.

Saya pun bertanya, “Kok diberi tanda (V), padahal tidak sholat?” Dia menangis sambil mengatakan akan dihukum jika tercatat tidak sholat.  Sambil menenangkannya, saya bertanya, “Dihukum seperti apa?”  Dia pun bercerita bahwa pada hari pertama banyak yang tidak sholat, dihukum mengangkat kaki sebelah kiri selama beberapa waktu pada pelajaran bu guru itu.

Dia melanjutkan cerita bahwa pada hari pertama itu banyak yang dihukum. Pada hari kedua turun drastis menjadi sekitar 5 orang. Pada hari ketiga hanya dia sendiri yang menjalani hukuman.

Saya langsung memahami bahwa dia merasa malu dihukum sendirian dengan cara menyolok di depan kelas. Saya katakan padanya, “Meski dihukum, Adli tidak boleh begitu. Harus tetap ditulis tidak sholat. Jika ditulis sholat artinya berbohong.” Tentu saja hal itu saya sampaikan dengan nada lembut tanpa ada nada marah.  

Dia masih tampak khawatir akan hukumannya. Saya katakan, “Nanti ummi temui gurumu.” Kelihatan Adli menjadi lebih tenang. Saya tetap mengingatkan, “Tetapi jangan lupa berusaha sholat Isya yaa.” Dia mengangguk mengiyakan.

Esok harinya saya temui ibu guru itu. Saya ceritakan situasinya sembari mengusulkan agar hukuman diubah. Saya sampaikan pandangan hukuman semacam itu membuat anak cenderung berbohong. Padahal buat saya, pelajaran pertama bagi anak-anak adalah tidak boleh berbohong, mencuri dan curang.

Sholat lima waktu baru lebih saya dorong ketika berusia 7 tahun. Bahkan, belum ditegur keras sebelum berusia 10 tahun. Sholat pun lebih diarahkan untuk bermakmum saja lebih dahulu.

Setelah berdiskusi dengan gurunya beberapa lama, dengan nada sedikit meninggi saya sempat mengatakan jika hukuman tidak diubah, Adli akan dipindah sekolahnya. Saya tegaskan tidak mau anak tumbuh kembang menjadi pembohong.

Beruntung lah bu guru itu mau mengerti dan bersedia mengubah hukumannya. Tidak lagi berupa hukuman fisik, melainkan menulis atau mengerjakan soal. Kontennya pun yang dijanjikan agar bisa menggugah kesadaran atau menambah kemampuan anak.   

Kisah mencontohkan mau berbagi dan menolong

Mengajarkan sikap mau berbagi, suka menolong, menghargai orang lain sebenarnya cukup mudah. Terutama dengan contoh atau tindakan nyata orang tuanya. Misalnya bagaimana mereka bersikap ketika ada orang datang bertamu dengan berbagai keperluan. Sekedar berkunjung bertukar kabar, memberi undangan, meminta bantuan dan lain-lain.