Perdebatan kebudayaan yang berpuncak pada konflik Lekra dan Mabikebu tidak lagi diberi tempat.
Oleh: Eko Tunas
(Budayawan)
MENGAPA sekarang tidak ada debat kebudayaan, tampaknya menjadi pertanyaan setiap seniman. Kongres Kebudayaan 1950 menjadi tonggak pertanyaan mereka.
Bahkan sebelum itu, Sumpah Pemuda 1928 bagi kita adalah awal bangsa ini menanamkan kebudayaan sebagai institusi dan nilai.
Mengapa seniman yang menyoal kebudayaan, inilah sebenarnya kesalahan pertama tafsir. Mereka menganggap bahwa kebudayaan melulu urusan seni dan seniman. Meski harus diakui, bunyi sumpah pemuda adalah penjelasan puisi “Tanah Air” dan “Nusantara” M Jamin.
Pokok soal di sini ialah, bagaimana debat kebudayaan diperlukan untuk menentukan arah politik kita.
Arah politik yang ditanamkan para pendahulu kita yang kemudian menjadi dasar politik Indonesia, ialah politik kebudayaan. Sebagaimana yang terdiktum dalam Pancasila.
Dalam kongres sumpah pemuda 1928 jelas, pesertanya bukan hanya seniman. Tapi semua aktivis dan tokoh pergerakan dari setiap sektor kehidupan. Pada kongres kebudayaan 1950 kemudian dikenal dari golongan nasionalis, agama, sosialis.
Di kemudian tahun, atas bom peristiwa 1965, Soeharto mengubah dasar politik kebudayaan menjadi politik ekonomi.
Satu sukses kerja politik super power menyusupkan ideologi kapitalisme. Ideologi yang semula ditentang para pendahulu kita: feodalisme kolonialisme.
Satu kerja intelejen super power melalui para pemodal dan penguasa dalam otoriterian militer, yang merubah segalanya. Arah politik negeri ini ditentukan dan diarahkan dari dan ke titik kekuasaan multi nasional orde baru.
Perdebatan kebudayaan yang berpuncak pada konflik Lekra dan Mabikebu tidak lagi diberi tempat. Karya yang lahir dari konflik aktif kreatif itu tidak lagi ditemukan. Kecuali karya seni atau sastra yang merayakan kebebasan kreativitas.
Di dalam kebebasan kreativitas diktumnya ke kebudayaan sebagai nilai, sebatas estetika. Tidak ada kesadaran dan penyadaran kebudayaan sebagai institusi, satu kekuatan yang menentukan arah politik.
Sebagaimana Pancasila adalah hasil kebudayaan, dan hasil kebudayaan itu untuk menentukan arah politik bangsa dan negara. Bayangkan bagaimana para pendahulu kita berdebat dalam ranah budaya sejak BPUPKI, hingga terciptalah Pancasila 1 Juni 1945.
Pada 1984 di Solo pernah diselenggarakan Seminar Sastra. Seminar tandingan Simposium Kebudayaan di Yogya dalam waktu bersamaan.
Dua acara itu yang digaris bawahi Majalah Sastra Horison dalam tulisan wawancara yang diberi judul: Sastra Kontekstual versus Sastra Universal.
Sejak itu tidak pernah ada lagi debat kebudayaan. Karya seni atau sastra pun masih melanjutkan perayaan kebebasan kreativitas sejak Orba hingga era reformasi. Pertanyaan mengapa tidak ada lagi debat yang memberi arah politik kita?
Jawabannya ialah ketidak-sadaran bahwa, itu terjadi karena dasar politik yang telah merubah segalanya. Ialah, sejak dasar politik kebudayaan berganti politik ekonomi yang berujung pada kapitalisme-liberalisme.
Kalau disesantikan: kalau tidak ada uang di sakumu, maka tidak ada budaya di badanmu. [Luk]