Tradisi mendongeng dan bermain kreatif bukan sekadar hiburan masa kecil, tetapi fondasi penting untuk membangun daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi yang menjadi kunci menghadapi tantangan masa depan.
Oleh: Adib Achmadi
DAHULU, para orang tua sering mendongeng. Mereka bercerita tanpa alat peraga, hanya menggunakan mulut, tangan, dan ekspresi wajah. Sekilas terlihat sederhana, tetapi sebenarnya itu luar biasa.
Anak-anak mendengarkan dongeng dengan imajinasi mereka sendiri. Mereka membayangkan cerita yang didengar dengan segenap pikiran dan perasaan. Imajinasi anak bebas bergerak mengikuti alur cerita yang disampaikan.
Ketika kebiasaan ini dilakukan berulang kali, menjadi pemicu daya imajinasi anak terlatih. Mereka bermain dengan memanfaatkan apa pun yang ada di sekitarnya. Bentuk dan rupa alat permainan tidak begitu penting, karena semuanya lahir dari imajinasi yang kuat di dalam kepala mereka.
Dari imajinasi itu, anak-anak bisa menciptakan mobil-mobilan, senapan mainan, perahu, atau alat permainan lainnya. Bagi mereka, permainan itu sudah terasa “canggih”.
Kecanggihan tersebut bukan dinilai dari bentuknya, melainkan dari imajinasi yang mendasarinya. Imajinasi membuat lingkungan sekitar mereka menjadi lebih bernilai dan berguna.
Inilah yang disebut kreativitas tanpa batas. Tak heran jika permainan anak-anak dulu sangat beragam. Apa saja bisa dijadikan sarana bermain.
Namun, seiring berjalannya waktu, daya imajinasi mulai memudar. Imajinasi anak kini dibatasi oleh perangkat teknologi. Awalnya hanya radio, kemudian beralih ke televisi, dan sekarang media digital.
Anak-anak semakin bergantung pada teknologi dan kehilangan peran sebagai subjek kreatif. Mereka berubah menjadi objek atau pengguna teknologi semata.
Ruang untuk berimajinasi memang masih ada, tetapi semakin sempit. Imajinasi anak kini telah “dibingkai” oleh tontonan yang disediakan teknologi.
Setelah menonton, anak hanya disuguhi berbagai produk jadi. Kebebasan berimajinasi dan mencipta pun semakin berkurang. Intuisi dan kreativitas mereka semakin tumpul, dan daya imajinasi perlahan menghilang.
Ketika anak-anak memasuki dunia sekolah, ruang bermain yang menjadi ciri khas usia mereka semakin terbatas baik dari segi tempat, waktu, maupun kesempatan. Sekolah, dalam banyak hal, telah “merampas” masa bermain yang kreatif, menantang, dan menyenangkan.
Sebenarnya, masalahnya bukan pada sekolah, melainkan pada sistem pendidikan yang umumnya kurang mendukung usia perkembangan anak. Ini adalah salah satu kesalahan besar dalam dunia pendidikan.
Potensi besar anak yang seharusnya bisa diarahkan untuk menggali kemampuan mereka secara optimal diusia emasnya, justru dibiarkan berlalu begitu saja.
Kini, di tengah era inovasi—di mana kreativitas dan imajinasi menjadi kekuatan utama—generasi kita hanya menjadi objek perubahan. Mereka hanya menjadi konsumen dari produk inovasi, bukan pencipta. Daya untuk beradaptasi secara kreatif apalagi menjadi pemimpin dalam inovasi telah lama hilang.
Mengembalikan daya kreativitas dan inovasi tentu bukan hal yang mudah. Hal ini membutuhkan ekosistem yang mampu merangsang semangat untuk berkarya—mulai dari asupan pengetahuan dan emosional, fasilitas, hingga apresiasi.
Langkah ini perlu dilakukan sejak dini, terutama di usia sekolah dasar atau bahkan sebelum itu. Imajinasi dan bermain adalah dua kunci penting untuk membangun kreativitas dan daya inovasi anak. Apa pun materi yang diajarkan, dua aspek ini harus selalu disertakan.
Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah menghidupkan kembali tradisi mendongeng di sekolah.
Tradisi lama ini, dengan penyesuaian yang diperlukan, dapat mendorong imajinasi anak untuk tumbuh dan berkembang kembali. Ketika imajinasi berkobar, keinginan untuk berkarya dan mencipta akan muncul dengan sendirinya. Itulah poin terpentingnya.