MUNGKIN ada yang bertanya apa maksudnya seorang dosen Universitas Indonesia (UI) cum influencer serta content creator Ade Armando disandingkan dengan aktor Hollywood peraih Oscar, Will Smith. Secara jarak dan spasial juga jauh, yang satu di Indonesia dan sang pemeran Aladin ada di Amerika Serikat.
Setiap orang punya perspektif yang berbeda dalam menyikapi aksi Will Smith di ajang Academy Awards belum lama ini yang menampar komedian Chris Rock. Begitu juga dalam menyikapi insiden pengeroyakan Ade Armando oleh sekelompok orang dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Kompleks Parlemen.
Pendapat pun terbelah dengan alasan dan argumen yang sama-sama kuat. Untuk pembela Will Smith misalnya mempertanyakan tentang ‘roasting‘ Chris Rock yang tidak patut kepada istri Will Smith walaupun dalam konteks lelucon. Sementara kondisi istri Will Smith sedang sakit. Artinya pantas pemeran King Richard ini marah.
Oh ya, aksi Will Smith bermula dari candaan Chris Rock soal kondisi fisik Jada Pinkett, istri Will Smith yang kepalanya plontos. Lelucon itu disampaikan Chris Rock saat membacakan pemenang kategori film dokumenter terbaik.
Lelucon itu memancing amarah Will Smith sehingga naik ke panggung dan menampar Chris Rock. Will Smith juga kemudian sempat berteriak, “jangan sebut-sebut istriku!”
Nah bagi pihak lain, aksi tamparan Will Smith dalam ajang bergengsi itu dianggap salah karena kekerasan dengan alasan apapun tidak diperbolehkan. Apalagi Oscar ditonton jutaan orang di seluruh dunia. Bisa-bisa lantaran itu, Academy Awards dituding mengkampanyekan aksi kekerasan.
Kasus Will Smith ini mulai nyambung dengan yang dialami Ade Armando. Para pendukung demokrasi mengutuk aksi kekerasan kepada Ade Armando apalagi soal beda pendapat, menghina atau fitnah sekali pun.
Di alam demokrasi kalau merasa terhina, dilecehkan, mendapat ujaran kebencian atau fitnah ada kanalnya yaitu lewat penegakan hukum. Tidak dilakukan dengan cara kekerasan.
Sedangkan yang mengamini dan sangat emosional menyebut kekerasan yang dialami Ade Armando sebagai sebuah konsekuensi dari sikap dan perilakunya selama ini. Apalagi ada kesan Ade Armando termasuk orang yang tidak tersentuh hukum. Padahal salah satu yang melaporkannya adalah Fadli Zon, saat itu masih sebagai Pimpinan DPR.
Ini soal rasa keadilan. Dalam teori psikologi orang yang diam atau massa yang diam itu justru bisa lebih berbahaya dan bisa meledak suatu waktu. Tinggal tunggu momentum atau pemicunya. Dan, kasus pengeroyokan Ade Armando akhirnya jadi monumen akumulasi kemarahan publik yang selama ini diam.