SAYA awalnya mengira, Anies Rasyid Baswedan popularitasnya akan menurun setelah lengser dari Gubernur DKI Jakarta. Karena itu logika sederhananya, kritikan dan perisakan pun dengan sendirinya akan sirna karena Anies bukan lagi simbol dan juga tak punya kuasa. Tanda tangannya pun sudah tidak ampuh lagi.
Tapi justru sebaliknya, popularitas Anies terus melambung dan sepertinya membuat kalang kabut kelompok lain yang direpresentasikan oleh seorang sosok bernama Ade Armando.
Ade yang bukan akademisi. Ade yang bukan sebuah tubuh tunggal. Tapi Ade bertubuh jamak, seorang buzzer dan juga penganut politik identitas. Atribusi terakhir ini sangat vulgar dipertontonkan lewat program acara di kanal YouTube milik kelompoknya. Intinya Ade menyebut Anies memecah belah umat Kristen dan karena itu diimbau agar mereka tidak memilih Anies dalam Pilpres 2024.
Padahal selama ini, Ade dan kelompoknya selalu mengaku sebagai kelompok yang pancasilais dan juga penolak politik identitas (politisasi identitas). Tapi justru pernyataan terbaru Ade mempertontonkan sikap inkonsistensinya. Kalau seseorang sudah tidak konsisten, kridibilitas dan integritasnya sudah pasti diragukan. Buktinya, tidak hanya kelompok Islam yang menentang pernyataan Ade tetapi juga dari pihak Kristen. Malah dalam sebuah postingan di Twitter seorang Kristen menyatakan sudah layak Ade dibui.
Pernyataan Ade bukan sebuah pernyataan tunggal melainkan sikap kelompoknya yang selama ini dikenal sebagai pendukung Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang terus mereka desakkan agar segera diusung PDI Perjuangan sebagai calon presiden.
Sebagian kalangan menyebut pernyataan Ade justru menjadi blunder buat Ganjar. Dampaknya, publik akan mempersonifikasi Ganjar sebagai tokoh yang didukung kelompok Kristen dan Anies didukung kelompok Islam. Anggapan ini tidak hanya merugikan kandidat tetapi juga malah memperuncing pembelahan di masyarakat yang selama ini sangat destruktif.
Anies setelah purnatugas justru semakin leluasa bergerak dan bermanuver. Tidak ada lagi batasan protokoler, aturan dan etika yang mengikat. Kini Anies tak harus meminta izin dari mendagri untuk segala urusan kedinasan atau kegiatan di hari kerja. Kini semua hari bisa Anies kapitalisasi untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
Safari Anies di Sumatra Utara tidak sekadar kunjungan atau muhibah biasa. Di sana sarat dengan makna dan simbol. Sambutan ribuan orang sejak dari Bandara Kualanamu, jalan raya hingga ke sejumlah tempat pertemuan, adalah tanda. Belum lagi teriakan mereka yang terus menggema: presiden…presiden…presiden!
Medan dan daerah lainnya di Sumatra Utara adalah simbol toleransi dan multikulturalisme. Safari ini juga sekaligus mematahkan anggapan seorang Ade dan kelompoknya. Jadi memang tidak selamanya cercaan, fitnah atau tuduhan harus dibalas dengan cara yang sama. Tindakan memang lebih utama.
Anies wis wayahe, Anies sudah saatnya!