Sang sufi asal desa Sekarjalak Pati itu menandaskan bahwa hakikat hidup adalah sebuah kematian. Lantaran yang terlihat hanya “wajah Tuhan”, kemauan Tuhan. “Ke mana pun kalian berpaling, di sanalah wajah Allah.” (Al-Baqarah [2]: 115).
Keadaan seseorang yang telah sanggup menyaksikan wajah Allah, persis kondisi orang meninggal. Ia tak akan bersandar dengan apa-apa yang dimiliki. Ia juga tak lagi terpesona oleh apa pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan tak pernah mengadukan duka pribadinya pada orang lain. Ia telah mendapatkan Tuhan, sehingga segala tindak tanduknya bukan lagi oleh kemauannya sendiri, melainkan perintah Tuhan. “Dan, aku tidak melakukan [tiap-tiap perbuatan] itu berdasarkan kehendakku sendiri.” (Al-Kahfi [18]: 82).
Dengan demikian, sang penempuh dunia diri menyandarkan dalam kesadarannya bahwa hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Allah Maha Besar, selainnya kecil dan fana. Yang ia saksikan adalah wajah di balik wajah, makna di balik makna. Oleh karenanya, tiada lagi perbuatan yang layak ia lakukan, selain menelaah isyarat-isyarat, berita dan perintah Tuhan di balik benda-benda, fenomena dan peristiwa-peristiwa. Setiap melangkahkan kaki bernilai pengabdian. Bahkan setiap cita, dalam rangka bersaksi bahwa Tuhan itu sungguh ada.
Dalam khazanah tasawuf idiom manunggaling kawula Gusti senada dengan wahdatul wujud. Wahdah adalah jumbuh atau bersatu, sedang wujud adalah hamparan makrokosmos. Saya nukilkan dialog hikmah Muhammad Zuhri, masih dalam bukunya, Langit-langit Desa (Mizan, 1993, hal. 117):
“Kang Kusir, tolong antarkan saya kembali ke masjid tempat saya mampir shalat tadi. Nanti saya tambah lagi ongkosnya.”
“Ada sesuatu yang ketinggalan, Pak Haji?” tanya kusir.
“Kalau barang saya ketinggalan sih tidak jadi masalah. Tetapi seekor semut di lantai masjid tadi terbawa di sorban saya. Kalau tidak saya antarkan kembali ke tempatnya, kan bisa kacau anak-bininya,” jawab pak haji serius.
Dari kisah itu, wahdatul wujud merupakan kesadaran bersatu rasa dengan kenyataan, baik benda-benda material, tetumbuhan, hayawan, sesama manusia, fenomena, dan peristiwa-peristiwa. Mereka semua itu adalah wujud “pernyataan” Tuhan—Allah ber-tajalli.
Lebih lanjut Nabi Saw. bersabada, “Sayangi yang di muka bumi, maka yang di langit pun akan menyayangimu.” (HR Al-Thabarani).
“Sesungguhnya, yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR Al-Bukhari-Muslim).
Apa itu akhlak? Ya, tiada lain adalah kemampuan merespon wajah Allah seakurat mungkin, yakni menyelaraskan “sikap terhadap kenyataan” dengan “kenyataan diri”. Maka, pagi yang indah, pagi yang menjanjikan itu adalah saat pagi tatkala sanggup menahan diri untuk tak menuntut pihak lain melakukan keutamaan, yang kita sendiri tak sanggup menunaikan. Tak memaksa orang lain yang kita sendiri tak ingin.