Dan memang benar adanya. Rata-rata nilai Habibie di ijazah SMA rendah sebab dia hanya mendapat nilai tinggi di mata pelajaran eksakta saja seperti Matematika dan Fisika. Waktu itu namanya Ilmu Pasti dan Alam.
Untuk mata pelajaran sejarah, biologi, dan bahasa, nilainya pas-pasan. Habibie memang hanya mau belajar apa yang menurut dia menarik saja. Dan itu adalah Ilmu Pasti dan Alam.
Di bangku kuliah, Habibie memang jagoan dalam kedua bidang ilmu itu. Pelajaran ilmu pasti diberikan oleh Prof. Kuipers dari Belanda. Dosen ilmu analisa dan ilmu ukur juga orang Belanda, yaitu Prof. Terpstra. Untuk Fisika, diajar oleh Prof Bursma, orang Belanda. Dosen ilmu metalurgi adalah Prof Stromburg, orang Jerman.
Karena kecanduan ilmu pasti dan alam, Habibie melahap semua buku dan diktat yang ada. Itu diperolehnya dari kakak-kakak kelasnya di ITB yang kebetulan indekos di rumahnya, Jl. Imam Bonjol, Bandung.
Terus tanpa ikut kuliah dosen-dosennya, dia ikut ujiannya. Sekedar uji nyali. Dan lulus pula dengan nilai excellent. Saat itu, tidak ada ketentuan bahwa mahasiswa harus mengikuti mata kuliah para dosen terlebih dahulu sebelum diperbolehkan mengikuti ujian mata kuliah dosen tersebut sampai selesai.
Dia lulus semua dengan angka yang tinggi. Kalau dikonversikan sama dengan A. Nilai sempurna.
KARENA ingin ke Jerman, Habibie menghadap pembimbingnya di ITB, Prof Terpstra. Kengki yang menyarankan begitu. Tujuannya dapat rekomendasi. Dan entah karena apa, sang Professor memberikannya.
Habibie diberi surat pengantar, salinan dokumen nilai ujian plus tanda tangan. Bunyinya kurang lebih begini : “Bacharuddin Jusuf Habibie, walaupun belum selesai kuliahnya, dia telah melakukan ujian ilmu pasti, analisis ini dan itu, dan sebagainya dengan angka sangat baik.”
Diapun datang ke Jakarta untuk bertemu Muchdas, salah satu Direktur di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Habibie menceritakan masalahnya dengan polos. Melihat nilai-nilai Habibie, pejabat tersebut kagum.
Percakapan tentang kengototan Habibie ke Jerman ini terekam dengan baik di buku tersebut. Makmur menggambarkan momen tersebut dengan detail.
“Angka kamu bagus-bagus sekali.”
“Iya pak.”
“Ini menarik, Nak. Tapi begini ya. Pertama, kamu sudah terlambat. Jadi, kamu harus menunggu satu tahun lagi, tetapi kamu sudah dapat menggunakan angka-angka ini.”
Muchdas melanjutkan. “Kedua, kamu tidak bisa mengambil nuklir karena, menurut Keputusan Presiden yang bisa mendapat beasiswa ke luar negeri hanya mereka yang akan belajar konstruksi pesawat terbang atau belajar konstruksi kapal laut.”